Kembangkan Panas Bumi, Pertamina Bakal Gencar Bangun PLTP

Pertamina Geothermal Energu terus mencari peluang pengembangan PLTP di Indonesia. Potensi panas bumi capai 29.000 MW.

oleh Fitriana Monica Sari diperbarui 14 Des 2017, 11:11 WIB
Tiang pemancang terpasang di pembangunan PLTP Unit 5 & 6 di Tompaso, Sulut, Rabu (30/3). PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) terus mengembangkan energi yang berfokus pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dihadapkan oleh tantangan untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen hingga 2030 mendatang. Pemerintah Indonesia juga dihadapkan tantangan untuk meningkatkan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 mendatang.

Besarnya potensi EBT di Indonesia membuat PT Pertamina Geothermal Energy, anak usaha PT Pertamina (Persero) terus mencari peluang kerja sama pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia.

Geothermal atau panas bumi memiliki potensi hingga sebesar 29.000 megawatt (MW) di seluruh pelosok nusantara, tetapi yang terpasang baru sekitar 1.800 MW.

Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy, Irfan Zainuddin menyatakan, perusahaan terus berkomitmen mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia.

Kapasitas terpasang perusahaan saat ini mencapai 587 MW dan diperkirakan akan mencapai 2.137 MW pada 2025 mendatang seiring terbangunnya pembangkit yang sedang dibangun dan pembangkit-pembangkit baru.

Namun ia mengakui, ada beberapa tantangan pengembangan PLTP ke depan, seperti tingginya investasi upfront, sekitar US$ 4-5 juta per MW, biaya pokok produksi (BPP) daerah yang belum ekonomis dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50/2017, tingginya risiko eksplorasi dan terbatasnya data geoscience dalam proses lelang wilayah kerja panas bumi, penolakan yang tinggi dari masyarakat setempat termasuk juga konflik selama proses akuisisi lahan, belum adanya regulasi yang mengatur penjualan energi panas bumi secara langsung (harus melalui offtaker).

"Tapi juga masih ada beberapa peluang seperti semakin banyak perusahaan multinasional seperti IKEA, Google, Nestle, Nike, Unilever dan Apple yang berkomitmen yerhadap pengembangan energi bersih (EBT). Pemerintah perlu mengembangkan skema power wheeling," kata dia pada Pertamina Energy Forum 2017, seperti ditulis Kamis (14/12/2017).

Adapun power wheeling merupakan skema pemanfaatan bersama jaringan transmisi atau jaringan distribusi tenaga listrik. Terdapat dua skema untuk pemanfaatan bersama tersebut, pertama untuk penggunaan sendiri, misalnya terdapat industri yang memiliki pembangkit listrik, ingin menyuplai listrik untuk pabriknya di tempat yang berbeda, karena tidak memiliki jaringan transmisi dan distribusi, maka industri tersebut menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.

Skema kedua adalah bukan untuk pemakaian sendiri, misalnya pembangkit listrik swasta (IPP) yang ingin menjual listriknya kepada konsumen industri. Karena tidak memiliki jaringan transmisi dan distribusi, maka IPP tersebut menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN. Tentunya perusahaan tadi maupun IPP yang memanfaatkan jaringan PLN, harus membayar sejumlah biaya tertentu.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Tantangan Kembangkan EBT

Ilustrasi (iStock)

Presiden Direktur General Electric Indonesia, Handry Satriago memaparkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi mencapai enam persen dalam tiga hingga lima tahun ke depan. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan energi diperkirakan meningkat sekitar 6 persen.

Dibutuhkan investasi yang besar, sekitar US$ 600 miliar hingga 2040 mendatang, serta investasi kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengembangkan potensi EBT.

"Tantangan lain juga kita masih mengalami gangguan akibat kebijakan yang belum mendukung EBT, dengan frekuensi sekitar 5,58 kali per tahun atau 5,81 jam per tahun dan ini tentu menimbulkan kerugian hingga ratusan bahkan jutaan hal lain," kata dia.

Senior Operating Officer Power Business Division Marubeni Corporation, Yoshiaki Yokota menyatakan, kebutuhan akan Solar Photovoltaic atau pembangkit listrik berbasis panel surya (PLTS) di dunia akan meningkat secara drastic dalam 25 tahun ke depan, dan diperkirakan instalasi terpasang solar PV akan mencapai 12.879 GW pada 2040 dari 6.719 GW pada 2016.

Di satu sisi, harga baterai di unit modul solar PV trennya semakin efisien, dari sekitar US$ 76 per watt pada tahun 1977 lalu menjadi US$0,30 per watt pada 2015, atau turun sepersepuluh dalam 10 tahun terakhir. Untuk itu, perusahaan terus berinovasi dalam menyediakan teknologi pembangkit listrik berbahan energi terbarukan khususnya panas bumi dan solar PV yang efisien.

"Total kapasitas yang kami instal di berbagai dunia sudah mencapai 12.284 MW secara net termasuk PLTS Sweihan dengan kapasitas 1.177 MW di Abu Dhabi, dan PLTP Rantau Dadap 87 MW di Indonesia. Kita harus terus berinovasi mengingat investasi di pembangkit listrik tenagapanas bumi sendiri diperkirakan mencapai US$ 9 miliar dalam beberapa tahun ke depan," kata dia.

Ditambahkan, untuk PLTS Sweihan sendiri, ada beberapa faktor kunci yang membuat pembangunan PLTS berjalan sukses. PLTS yang memiliki total panel surya sepanjang 5,7 kilometer ini, yang terbesar di Abu Dhabi, melibatkan sindikasi dari 8 perbankan dari sisi pembiayaannya.

Kunci percepatan lain adalah jaminan dari perinngkat surat utang pemerintah Abu Dhabi, dimana ia mendapat investment grade (AA+) dari S&P, proses tender yang cepat dan efisien, dimungkinkannya skema build and own operate (BOO) serta bankabilitas dari proyek Sweina sendiri.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya