Liputan6.com, Jakarta Pemerintah optimistis dapat mencapai target penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dengan porsi sebesar 23 persen dalam bauaran energi 2025. Meski, masih ada permasalahan yang mengganjal pengembangan energi bersih tersebut.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, meski bukan merupakan hal yang mudah, pemerintah optimistis bisa mewujudkan target tersebut.
Baca Juga
Advertisement
”Sulit dicapai bukan berarti tidak bisa dicapai. Upaya-upaya maksimum sudah kita lakukan di Kementerian ESDM,” kata Rida, di Jakarta, Kamis (14/12/2017.
Rida mengungkapkan, penetapan target 23 persen atau setara dengan 92,2 Million Tonne Of Oil Equivalent (MTOE) merujuk pada target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 yang sekitar 8 persen.
Penetapan target bauran energi ini sendiri telah disahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Ketentuan ini tidak dapat dievaluasi sebelum lima tahun sejak disahkan.
“KEN atau Kebijakan Energi Nasional dapat ditinjau kembali paling cepat lima tahun, itu pun jika dipandang perlu,” jelas Rida.
Selain itu, pemenuhan kebutuhan EBT juga didasari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) serta sejalan dengan Nawacita pembangunan Jokowi-JK, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran.
Untuk itu, pembangunan infrastruktur EBT banyak dilakukan di daerah terpencil sebagai upaya Kementerian ESDM dalam menyediakan energi secara merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. “Jadi inilah gambaran bagaimana kemudian bauran energi kita ukur,” tutur Rida.
Tantangan
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengakui, upaya pengembangan EBT juga memiliki beberapa tantangan, terutama untuk program yang didanai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Hal itu seperti serah terima aset kepada pemerintah daerah (pemda) yang terkendala oleh proses panjang, khususnya untuk aset di atas Rp 10 miliar.
"Jadi, perlu mekanisme yang jelas dan terkoordinasi antara pusat dan daerah sehingga kemudian barang tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal," tambah Agung.
Selain itu, pelaporan data energi oleh pemda juga terkendala keterbatasan sumber daya manusia, sehingga sebagian data dan informasi didapat berdasarkan asumsi perhitungan secara teoretis.
"Terkait kepentingan tersebut, pemerintah telah melakukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di daerah," ungkap Agung
Pembangkit EBT berskala kecil yang terletak pada lokasi yang tersebar dan terpencil juga menyulitkan, karena transportasi dan logistik yang sangat terbatas.
"Untuk itu, Kementerian ESDM telah menempuh beberapa langkah seperti melakukan perbaikan aset yang mengalami kendala operasional baik yang rusak ringan ataupun berat, menyegerakan serah terima aset kepada pemda agar memudahkan operasi dan perawatan, terus melakukan sosialisasi dan perawatan infrastruktur, melakukan edukasi dan sosialisasi, serta melakukan kerja sama operasi dengan PLN," tutup Agung.
Advertisement