Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend menegaskan bahwa organisasinya dan para negara anggota organsiasi multilateral Benua Biru itu, tak mendiskriminasi minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia beserta produk turunannya.
Pernyataan itu ia sampaikan di tengah derasnya sentimen negatif dari pemerintah Indonesia terhadap Uni Eropa, yang disebut mendiskriminasi komoditas kelapa sawit Indonesia di pasar UE.
"Sesungguhnya, dengan bangga saya mengatakan bahwa cerita tentang Uni Eropa yang mendiskriminasi komoditas CPO dan produk turunannya adalah sebuah hal yang keliru dan berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya," kata Dubes Guerend berargumen saat konferensi pers di Jakarta, Rabu 13 Desember 2017.
Melanjutkan argumentasinya, Guerend mengatakan bahwa Uni Eropa sesungguhnya adalah pasar ekspor terbesar kedua di dunia -- di belakang China -- untuk komoditas CPO dari Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
"Sebagai pasar, UE juga sangat terbuka pada produk CPO," papar Guerend.
Sebagai bukti, ia menjelaskan bahwa komoditas CPO Indonesia dan produk turunannya dikenai pajak yang sangat rendah. "Bahkan, sekitar separuh CPO Indonesia yang masuk ke UE dikenai pajak 0-4 persen, lebih rendah dari pasar sawit di kawasan lain," tambah pria yang telah berdinas di Indonesia selama tiga tahun terakhir itu.
Guerend melanjutkan, berbeda dengan persepsi yang sepanjang tahun ini beredar (bahwa UE mediskriminasi CPO Indonesia), sesungguhnya ekspor sawit dari Tanah Air ke negara anggota kerjasama multilateral Benua Biru itu mengalami lonjakan jika dibanding tahun sebelumnya.
"Jika dibandingkan pada 8 bulan pertama tahun 2017 dengan tahun lalu, terjadi peningkatan ekspor CPO ke UE sebesar sekitar 30 persen dalam nilai dan 90 persen dalam volume," kata sang dubes.
"Maka sulit rasanya untuk mengabaikan segala kabar negatif yang menyebut UE mendiskriminasi CPO kalian (Indonesia), padahal sesungguhnya terjadi peningkatan ekspor yang besar dari Indonesia ke UE," tambahnya.
Sentimen Negatif Bersumber dari Patro Perusahaan dan Konsumen Eropa
Kendati demikian, Dubes Vincent Guerend mengakui bahwa tetap ada segelintir sentimen negatif dari Uni Eropa terhadap produk CPO Indonesia.
"Boleh saya katakan bahwa sentimen negatif pada CPO kalian disebabkan oleh patron-patron perusahaan dan konsumen di Eropa yang memang tak menggunakan sawit, dengan alasan bahwa pengelolaan dan produksinya (di Indonesia) berlawanan dengan prinsip keberlanjutan sumber daya alam," katanya.
Maka, demi menghadapi polemik tersebut, Guerend mengatakan bahwa UE siap untuk, "Membantu mendorong agar produksi sawit Indonesia sesuai dengan prinsip keberlanjutan sumber daya alam dan ekspektasi kami UE sebagai konsumen".
Demi mencapai tujuan tersebut, Guerend mengaku bahwa UE telah menggelar berbagai kelompok kerja (pokja) yang membahas tentang peningkatan kualitas produksi dan hasil sawit Indonesia.
"Kita juga berkomunikasi dengan pemerintah, pemangku kepentingan dan firma yang menangani isu sawit," tambahnya.
Menutup paparannya, Guerend mengatakan bahwa Uni Eropa siap bekerja sama dan berkomitmen dalam isu CPO.
Menlu RI Kecewa dengan Sikap Uni Eropa Terhadap Komoditas Sawit Indonesia
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyayangkan diskriminasi komoditas kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa, termasuk yang dilakukan anggota parlemen Uni Eropa.
"Kampanye negatif dan diskriminasi yang dilakukan di Uni Eropa tidak saja berdampak kepada citra negara-negara penghasil kelapa sawit, namun juga lebih besar dampaknya bagi kehidupan sekitar 17 juta orang di Indonesia yang bergantung pada ekspor komoditas crude palm oil (CPO)," kata Retno dalam Ministrial Meeting di KTT ASEM ke-13 di Myanmar, 20 November 2017.
Padahal sejatinya, terdapat keterkaitan erat antara kelapa sawit dan upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
"Maka seharusnya, produk kelapa sawit harus disikapi adil di pasar Uni Eropa," tegas mantan Duta Besar RI untuk Belanda itu.
Tak hanya itu, dalam pertemuan bilateral Indonesia - Uni Eropa yang memanfaatkan sela-sela KTT ASEAN plus Uni Eropa di Filipina pada 8 Agustus 2017 lalu, Menlu Retno turut menyampaikan keberatan yang serupa, terkhusus soal kebijakan sawit yang diterapkan organisasi tersebut.
Resolusi yang dikeluarkan pada 4 April 2017 itu, menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia menyebabkan deforestasi dan kebakaran hutan.
Hasil resolusi didasarkan pada hasil studi yang dilakukan Komisi Eropa tahun 2013, produksi minyak kelapa sawit Indonesia menyumbang sekitar 6 juta ha dari 239 (2,5%) dari sumber kerusakan hutan global.
Kepada Uni Eropa yang diwakili oleh High Commissioner Federica Mogherini, Indonesia menyampaikan pihaknya satu suara dengan Malaysia yang menyampaikan keberatannya terhadap resolusi tersebut dalam pertemuan ASEAN + Uni Eropa.
Retno menyampaikan bahwa Uni Eropa sepertinya tidak bisa menangkap data-data saintifik yang telah disampaikan oleh Indonesia.
"Jadi saya hanya memperingatkan, saya sampaikan bahwa kami tidak satu sayap dengannya," ujar Retno dalam press briefing pada Senin, 7 Agustus 2017.
"Saya sampaikan bahwa kita tidak suka, kita protes terhadap resolusi tersebut," tegas dia.
Retno menambahkan, Indonesia akan terus mendekati masalah tersebut dari hasil riset yang telah dilakukan.
Sebelumnya pada Juni lalu, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI meminta delegasi Parlemen Uni Eropa untuk meninjau ulang hasil resolusi yang diterbitkannya terkait minyak kelapa sawit.
Hal tersebut diserukan oleh sejumlah anggota BKSAP saat menerima delegasi Parlemen Uni Eropa di Gedung DPR RI.
Anggota BKSAP yang juga membidangi komisi VI Erico Sotarduga menyampaikan bahwa industri kelapa sawit menampung 4 juta tenaga kerja Indonesia secara langsung, yang apabila dihentikan akan membawa multiplier effect terhadap 12 juta rumah tangga.
Di samping itu, menurutnya masalah deforestasi akibat industri kelapa sawit tidak perlu dikhawatirkan. Mengingat, luas oil palm plantiation hanya 6-7 persen dari luas Indonesia.
Advertisement