Liputan6.com, Jakarta - Anggota DPD Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa mengembuskan napas terakhirnya pagi ini di RS MMC, Jakarta Selatan, sekitar pukul 06.25 WIB. Aktivis lintas zaman ini harus berjuang selama tiga minggu karena kanker hati yang diidapnya.
"Sudah dirawat kurang lebih tiga minggu, jadi penyakitnya kanker hati dari diagnosis dokter sudah sekitar dua tahun yang lalu," ujar putra kelima AM Fatwa, Rijalulhaq, di rumah duka, Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (14/12/2017).
Advertisement
Bukan hanya kanker hati, Fatwa juga sempat didiagnosis penyakit lain, seperti hepatitis. Kurun waktu dua tahun itu pulalah sang ayah keluar masuk rumah sakit.
Menurut Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, sakit tersebut merupakan dampak dari siksaan yang dialami Fatwa saat di penjara.
"Bapak tua itu pejuang yang tak tertandingi beliau ini sakit karena dizalimi, ditahan, disuntik dengan suntikan enggak steril maka beliau kena sakit waktu dipenjara hepatitis yang itulah puncaknya hari ini," tutur Zulkifli kepada Liputan6.com.
Hal ini pun juga dibenarkan oleh putri dari Fatwa, Dian Islamiati Fatwa, bahwa sakit yang diderita sang ayah merupakan efek dari perlakuan tidak manusiawi yang ayahnya terima saat di penjara.
"Selain disiksa juga, kenapa beliau sakit kanker ini (karena) saat di penjara itu kan kadang-kadang sakit, ya. Sakitnya itu diganti-ganti suntikan karena tidak tersedia alat suntik yang ada sehingga ketika disuntik itu ya bekas suntikan narapidana itu yang membuat hepatitis B dan hepatitis C yang menjadi asal mula kanker," jelas Dian.
Teror kepada Keluarga
Selain dikenal sebagai politikus, AM Fatwa juga tercatat sebagai aktivis. Beberapa kali ia keluar masuk penjara akibat tuduhan menggerakkan demonstrasi mahasiswa. Ia juga sering dituduh memberontak pemerintah bahkan dianggap pengkhianat negara.
Dian juga menambahkan bahwa teror akibat keberanian sang ayah menegakkan demokrasi juga menimpa keluarga. Keluarga Fatwa sempat tidak bisa meminum air di rumahnya karena telah diracun intel.
"Pada saat air ledeng itu juga diracun sehingga kami tidak bisa minum air ledeng selama beberapa bulan. Dan intel itu ada yg tidak tega (sehingga) memberi tahu kami untuk tidak minum air ledeng," papar Dian kepada pers.
Dian merasa negara mempunyai andil terhadap apa yang terjadi kepada ayahnya. "Saya pikir negara bertanggung jawab ya terhadap peristiwa ini karena rezim yang melakukannya," tegas Dian.
Dia pun berharap perjuangan ayahnya dalam menegakkan demokrasi harus terus dilanjutkan. Menurut Dian, banyak generasi penerus yang kehilangan sosok ayahnya.
Anak sulung AM Fatwa, Dian Islamiati Fatwa, mengisahkan perjuangan sang ayah menegakkan demokrasi.
"Sejak mahasiswa ya ayah ini berupaya menegakkan demokrasi. Sejak mahasiswa sudah keluar masuk penjara," tutur Dian mengawali kisahnya usai pemakaman Fatwa di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta (14/12/2017).
Dian juga bercerita saat Peristiwa Tanjung Priok bagaimana ayahnya dikorbankan. Fatwa waktu itu dijebloskan dan dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain karena menyuarakan kebenaran. Dian mengingat bagaimana ayahnya mengeluh karena tidak bisa tidur.
"Ayah harus masuk penjara. Ketika masuk penjara ini berkeliling penjara dari mulai Bogor di Paledang juga di Sukamiskin, Cipinang, di Guntur. Saya ingat ketika saya datang ayah cerita tidak bisa tidur karena harus menyaksikan kader-kadernya dipukul oleh militer dan pada saat itu," tutur Dian diiringi air mata yang terus mengalir di pelupuk matanya.
Advertisement
Penyiksaan
Fatwa mengaku ia tidak dipukul, tapi kader-kader Fatwa dipukuli di depan matanya.
"Saya pikir ini adalah bentuk psikologis ya untuk mencoba mematahkan semangat perjuangan beliau," terang Dian.
Dian juga mengisahkan, saat dirinya duduk di bangku SMA ia mendapat kabar bahwa ayahnya sedang masuk rumah sakit.
"Ternyata ada intel yang berupaya mencelurit jadi kalau dilihat itu sebenarnya ada bekas luka dicelurit," papar Dian. Dian mengaku luka bekas celurit itu masih membekas di pipi kanan ayahnya.
Saksikan video pilihan berikut: