Liputan6.com, Jakarta Sebagai penyandang tunadaksa (cacat tubuh) dengan satu kaki, Slamet Tohari terhenyak melihat para penyandang disabilitas sulit menempuh pendidikan tinggi. Akademisi dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya ini menilai akses layanan pendidikan untuk penyandang disabilitas terbilang sulit.
Baca Juga
Advertisement
"Saya dulu kuliah di Yogyakarta jurusan Filsafat. Selama kuliah, tak pernah ada diskusi soal disabilitas, terutama dari segi akses pendidikan. Jadi, saya lihat penyandang disabilitas minim untuk mengakses pendidikan," tutur Slamet kala ditemui dalam acara "Talkshow tentang Inklusi Difabel" di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, ditulis Jumat (15/12/2017).
Selesai menamatkan kuliah, ia memutuskan pindah ke Malang dan mengajar di Universitas Brawijaya. Selama berkiprah di Universitas Brawijaya itu, Slamet Tohari juga mengupayakan agar para penyandang disabilitas mendapat kesempatan mengenyam pendidikan tinggil lewat gagasan pusat studi dan layanan khusus.
Pada tahun 2012, impian Slamet sejak lama terwujud. Tahun itu, Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD UB) yang digagas Slamet berdiri.
Sejak didirikannya PSLD, Universitas Brawijaya menjadi universitas inklusif untuk penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas dengan berbagai kekurangan fisik pada tangan, kaki, atau bagian tubuh lainnya dapat menempuh pendidikan lewat jalur seleksi khusus untuk penyandang disabilitas.
"Orang yang disabilitas kan susah buat masuk universitas. Mereka susah berkompetisi masuk di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Insitut Teknologi Bandung (ITB). Lewat jalur khusus disabilitas, mereka bisa menempuh pendidikan," tambah Slamet.
Simak video menarik berikut ini:
Perlengkapan belajar
Slamet menceritakan, saat pertama kali jalur seleksi khusus penyandang disabilitas dibuka, calon mahasiswa masih sedikit. Hanya 15 mahasiswa yang daftar. Padahal, Slamet sudah berupaya menyebarkan informasi adanya PSLD sampai Jawa Timur.
"15 mahasiswa yang daftar waktu itu langsung diterima. Seleksinya hanya mahasiswa harus bisa dan mampu menyelesaikan kuliah dengan baik. Tidak ada seleksi ketat layaknya penerimaan mahasiswa pada umumnya," ungkap Slamet.
Agar kegiatan belajar-mengajar lancar, dosen-dosen diajarkan bagaimana cara mengajar yang tepat kepada penyandang disabilitas.
Ada juga mahasiswa yang tunarungu. Alat pindai sangat membantu mahasiswa tuna rungu agar mereka dapat membaca materi pelajaran.
Advertisement
Didampingi tutor
Seiring waktu, jumlah penyandang disabilitas yang daftar masuk perguruan tinggi semakin bertambah. Kini, sudah ada 116 mahasiswa disabilitas. Untuk memudahkan belajar, mereka didampingi tutor. Jumlah tutor ada 68 orang.
"Di luar kelas kuliah, ada tambahan les. Kalau tuna rungu ditambah pelajarannya dengan les Bahasa Indonesia. Mereka juga perlu banyak buku," ucap Slamet.
Adanya tutor sangat membantu kebutuhan belajar tiap mahasiswa.