Pembunuhan Jurnalis Penguak Panama Papers Bukan Kasus Biasa

Pada Oktober lalu seorang jurnalis Malta yang menguak skandal Panama Papers di negaranya, Daphne Caruana Galizia, ditemukan tewas.

oleh Citra Dewi diperbarui 15 Des 2017, 14:05 WIB
Jurnalis Daphne Caruana Galizia yang tengah menyelidiki kasus korupsi Panama Papers.(Facebook)

Liputan6.com, Valletta - Pada Oktober lalu seorang jurnalis Malta, yang menguak skandal Panama Papers, Daphne Caruana Galizia, ditemukan tewas di dekat rumahnya. Mobil Peugeot 108 yang ditumpanginya hancur akibat bom.

Wakil Perdana Menteri Malta, Chris Fearne, baru-baru ini mengakui bahwa pembunuhan Galizia bukanlah pembunuhan biasa. Namun, ia membantah bahwa pembunuhan itu bersifat politis. Ia menyalahkan kelompok kriminal atas kejadian tersebut.

Fearne mengakui bahwa tewasnya jurnalis yang menguak skandal Panama Papers di Malta itu mengancam kebebasan berekspresi. Ia juga meyakinkan bahwa pemerintahannya menanggapi kejadian itu dengan serius.

"Dalam kasus ini khususnya, polisi telah melakukan pekerjaan dengan sangat baik. Hampir enam minggu setelah pembunuhan Daphne Galizia, polisi berhasil mendakwa tiga orang di pengadilan," ujar Fearne yang juga menjabat sebagai Menteri Kesehatan Malta seperti dikutip dari Deutsche Welle, Jumat (15/12/2017).

Kasus pembunuhan Galizia adalah yang terbaru dari 28 pemboman di Malta sejak 2008. Hingga kini, hanya dua kasus yang terpecahkan.

Caruanna Galizia dideskripsikan sebagai "one-woman WikiLeaks" oleh Politico. Ia bertempur sendiri melawan ketidaktransparanan dan korupsi di Malta.

Setengah jam sebelum perempuan berusia 53 tahun itu tewas dalam ledakan mobil, ia sempat mem-posting blog terakhirnya yang berjudul "Running Commentary".

"Ada penjahat di mana pun Anda melihat saat ini. Situasi tersebut sangat memprihatinkan," demikian tulis Galizia merujuk pada skandal korupsi yang menimpa Keith Schembri, Kepala Staf Perdana Menteri Joseph Muscat.

Lima belas hari sebelum dibunuh, Galizia mengajukan sebuah laporan kepada polisi. Ia mengaku telah menerima ancaman pembunuhan.

Dalam sebuah pernyataan, PM Maltamengecam "serangan barbar" tersebut, dengan mengatakan bahwa dia telah meminta polisi dan aparat keamanan negara lain untuk membantu mengidentifikasi pelaku.

"Semua orang tahu bahwa Caruana Galizia adalah seorang kritikus yang keras terhadap saya," kata Muscat pada sebuah konferensi pers yang diselenggarakan dengan terburu-buru.

"Baik secara politik maupun pribadi, tapi tidak ada yang bisa membenarkan tindakan biadab ini dengan cara apa pun," ucap dia.


Pengungkapan Kasus Korupsi oleh Galizia

Bangkai mobil milik jurnalis investigasi, Daphne Caruana Galizia, tergeletak di pinggir jalan kota Mosta, Malta, Senin (16/10). Mobil jurnalis yang sebelumnya bekerja di Panama Papers itu dipasangi bom ketika tengah berkendara. (AP/Rene Rossignaud)

Pengungkapan kasus korupsi terbaru yang dilakukan oleh Galizia menyoroti PM Muscat dan sekutunya, Keith Schembri dan Konrad Mizzi.

Mizzi yang merupakan mantan Menteri Energi Malta dilaporkan telah membuat badan usaha di Selandia Baru tanpa memberi tahu Komisaris Pendapatan Dalam Negeri. Sementara itu, Schembri memiliki perusahaan di Panama, yang dilaporkan baru diketahui Muscat melalui media.

Galizia juga mengungkapkan bahwa istri Muscat, Michelle Muscat, menerima US$ 1 juta atau sekitar Rp 13,57 miliar dari putri Presiden Azerbaijan. Informasi itu didapatkan dari firma hukum Panama Mossack Fonseca, sumber dari Panama Papers.

Muscat mengaku baru mengetahui kasus korupsi orang-orang terdekatnya itu melalui media. Kepada surat kabar lokal, ia merespons kasus tersebut.

"Dalam keadaan normal, mereka seharusnya sudah mengundurkan diri. Tapi saya juga membutuhkan mereka untuk melaksanakan proyek-proyek tertentu," ujar Muscat.

Fearne pun turut merespons kasus tersebut dengan mengatakan, "Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, tidak ada orang yang kedudukannya lebih tinggi di atas hukum di Malta."

Namun saat ini belum jelas apakah Schembri dan Mizzi akan diadili.

"Jika ada tuduhan ditemukan (dan benar terjadi), jika ada fakta dari tuduhan ini, maka ya, mereka tak hanya harus mengundurkan diri, tapi mereka juga harus menghadapi keputusan pengadilan," ujar Wakil PM Fearne.

Pada 2016, Malta jatuh ke titik terendah sepanjang indeks Tranparency International. Negara tersebut saat ini berada di peringkat 47.

Fearne sepakat bahwa ada kekhawatiran dan yakin bahwa pemerintahannya akan memberikan kebebasan yang lebih luas terhadap pers Malta.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya