Liputan6.com, Jakarta - Mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat berpendapat bahwa ada kelompok pro-Israel yang memengaruhi Presiden AS Donald Trump dalam mengklaim Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Menurut Dino Patti Djalal -- Dubes RI untuk AS periode 2010-2013 -- pengaruh tersebut telah lama tertanam melalui sejumlah proses lobi politik dan sokongan finansial kepada Trump sebelum dan sepanjang periode kampanye Pilpres AS 2016 lalu.
Advertisement
Dalam menjelaskan gagasan mendasar opininya tersebut, Dino membandingkan Presiden Trump dengan pendahulunya, Presiden Barack Obama -- sebagai pisau analisis.
"Terkait penanganan dalam hal Yerusalem, ada satu hal yang menjadi pembeda antara Presiden Donald Trump dengan pendahulunya, Presiden Barack Obama," kata Dino membuka paparan opininya di Jakarta, Jumat (15/12/2017).
"Obama, sepanjang prosesnya menjadi hingga telah menjabat sebagai presiden, tak mau dirinya dimiliki (owned) oleh Israel," tambahnya.
Dino, yang selama tiga tahun berdinas di Washington DC sebagai Duta Besar RI untuk AS menilai bahwa lobi, dukungan, dan sokongan kelompok pro-Israel merepresentasikan kekuatan yang sangat kuat dalam struktur kemapanan (establishment) politik AS.
"Siapapun akan sulit untuk menjadi Presiden AS tanpa lobi-lobi politik dari kelompok pro-Israel. Dan itu adalah rahasia umum, semua orang tahu," pungkas Dino.
"Tapi Obama, ia tidak seperti itu, dirinya enggan dan tak nyaman untuk terseret dalam arus kemapanan dan lobi politik kelompok pro-Israel," tambahnya.
Dino, yang menjabat sebagai Dubes RI untuk AS pada periode kepresidenan Obama menilai, 'si Anak Menteng' sangat independen dalam sejumlah isu politik internasional, salah satunya isu Palestina.
"Itu mengapa Obama, menurut pandangan saya, sangat tidak populer bagi struktur kemapanan politik dan pemerintah Israel. Dan bukan rahasia bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu tidak menyukai Obama," ujar pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri RI itu.
Dino juga mengatakan, sikap Obama yang seperti itu patut diapresiasi, karena presiden ke-44 AS itu tak ingin suatu negara atau komunitas tertentu memiliki atau menguasai dirinya dan keputusan yang akan diambilnya.
Presiden Trump justru sebaliknya. Tegas Dino.
"Seorang kolumnis ternama untuk The New York Times menulis bahwa langkah Donald Trump yang mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah perbuatan yang ditujukan untuk menyenangkan hati para pendonor kampanye-nya pada Pilpres 2016 lalu," katanya berpendapat.
Para pendonor itu adalah pebisnis tajir kelas kakap dari komunitas pro-Israel. Seperti yang pernah diberitakan oleh Time pada 8 Desember 2017.
"Dan saya pikir si kolumnis (TNYT) itu benar," pungkas Dino.
Menutup segmen opininya tersebut, Dino mengatakan, "Trump dulu sempat berkata bahwa ia akan mengedepankan 'America First'. Namun dalam persoalan Yerusalem, Trump justru mengedepankan 'Israel First', bukan 'America First'".
"Dan semua koneksi itu, menurut saya memainkan peranan besar dalam pengambilan keputusannya soal Yerusalem," tutup Dino.
Ada Miliarder Israel di Balik Sikap Donald Trump soal Yerusalem?
Menurut sejumlah laporan media Amerika Serikat, langkah Presiden Donald Trump mengklaim Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel sesungguhnya berlandaskan pada motif ideologi dan ekonomi, -- dan bukan didasari oleh alasan diplomatik seperti yang selama ini menjadi dalih Washington DC.
Media ternama asal Amerika Serikat Time pada 8 Desember 2017 mengungkap, 10 hari sebelum Donald Trump disumpah sebagai presiden, ia dikabarkan sempat bertemu Sheldon Adelson -- orang tajir kelas kakap, pemilik bisnis kasino sekaligus penyokong dana utama untuk Partai Republik dan kelompok pro Israel.
Time melanjutkan, usai Trump bertemu dengan Adelson, bos kasino itu kemudian menelepon temannya Morton A Klein. Ia mengatakan bahwa sang Presiden Terpilih menjadikan pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem sebagai sebuah prioritas.
Klein, simpatisan Israel dan Presiden Zionist Organization of America itu, dilaporkan sangat gembira mendengar kabar tersebut.
Dari laporan tersebut, kini muncul dugaan bahwa sikap yang diambil Presiden Trump terkait Yerusalem pada pekan ini, tak lepas dari pengaruh Adelson dan Klein.
Namun, mengapa kedua orang itu diduga memiliki pengaruh terhadap langkah Trump?
Donor Utama Raksasa
Sheldon Adelson, orang tajir kelas kakap. Ia merupakan penyumbang dana utama bagi Partai Republik -- yang menyokong Presiden Donald Trump -- dan kelompok pro Israel.
Ia juga dilaporkan sebagai salah satu pendonor dana kampanye Donald Trump kala mengikuti Pilpres AS 2016 lalu.
Jaringan politik Adelson dikabarkan juga cukup signifikan. Bahkan, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Wakil Presiden AS Mike Pence -- yang diketahui sebagai pendukung pro Israel -- dilaporkan menjadi sejumlah figur pejabat yang masuk dalam jaringan politik Adelson.
Pengaruh politik semacam itulah yang membuat Adelson mampu memengaruhi Trump untuk memprioritaskan agenda seputar Israel, salah satunya pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Negeri Bintang David itu.
Trump, saat masih berstatus sebagai Capres AS dan sebelum mulai menjalin hubungan ekstensif dengan Adelson, mengisyaratkan sikap yang netral dan terlalu memperhatinkan isu Israel.
Ketika ditanya apakah Yerusalem secara utuh merupakan ibu kota Israel, Trump menjawab, "Saya harus bertemu dulu dengan Bibi (Benjamin Netanyahu) terlebih dahulu."
Namun, ketika persaingan Pilpres AS 2016 semakin ketat dan hubungan dengan Adelson semakin dekat, Trump mulai garang mendukung agenda kelompok pro Israel.
Adelson, selama kurun waktu tersebut, dikabarkan intens menjalin sambungan telepon dengan Trump. Dalam sambungan itu, sang bos kasino intens mendorong isu pro Israel kepada sang capres AS.
Mengomentari paparan dugaan di atas seputar Trump dan Yerusalem, analis Timur Tengah, Zuhairi Misrawi mengatakan, "Ini masalah ideologi, di mana Donald Trump berusaha menarik hati konglomerat pro Israel demi kepentingan ekonomi," paparnya lewat sambungan telepon dengan Liputan6.com, Rabu 6 Desember 2017.
Advertisement