Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah dunia bervariasi di akhir pekan. Harga masih di bawah level tertinggi dalam dua tahun. Berkurangnya pasokan pada jalur pipa Laut Utara dan pemangkasan produksi OPEC menjadi penyebab. Serta kenaikan output di Amerika mendorong harga minyak naik di negara ini.
Melansir laman Reuters, Sabtu (16/12/2017), harga minyak mentah Brent turun 9 sen menjadi US$ 63,22 per barel. Sementara harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) naik 23 sen menjadi US$ 57,27 per barel.
Baca Juga
Advertisement
Harga WTI mencapai level tertinggi dalam dua tahun di posisi US$ 59,05 pada 24 November. "Ada pertarungan di pasar," kata Gene McGillian, Analis Senior Tradition Energy di Stamford, Connecticut.
Dia mengatakan, spekulan telah mengintai lama dan bertaruh bahwa pemotongan produksi akan terus menghilangkan kelebihan pasokan dari pasar.
"Spekulan sepertinya tidak bergeming. Mereka telah lama sampai batas tertentu untuk sementara waktu di sini sehingga tampaknya mereka terus menekan posisi itu," tambah Rob Haworth, Ahli Strategi Investasi Senior di Wealth Management Bank AS.
Analis di Barclays mengatakan, tingkat persediaan minyak di negara-negara industri mencapai 2 persen di bawah rata-rata lima tahun pada awal Desember. Ini lebih rendah dibandingkan sebelumnya yang sebesar 10 persen di atas rata-rata lima tahun pada awal 2017. Pemicunya pengurangan produksi dan pertumbuhan permintaan.
Di sisi lain, produksi minyak AS terlihat meningkat sebagai respons terhadap kenaikan harga. Produksi minyak AS telah melonjak 16 persen sejak pertengahan 2016 mencapai 9,78 juta barel per hari (bpd). Kenaikan ini telah menggerogoti hambatan produksi minyak OPEC.
Tonton Video Pilihan Ini:
Bank Dunia Setop Pendanaan Bahan Bakar Fosil di 2019
Bank Dunia atau World Bank memberikan pengumuman penting, yakni menghentikan bantuan pendanaan untuk eksplorasi minyak dan gas pada 2019. Pengumuman ini diungkapnya pada konferensi internasional One Planer Summit yang diinisiasi Presiden Prancis, Emmanuel Macron.
Dikutip dari sciencealert.com, Jumat (15/12/2017), di tengah perhelatan konferensi, badan internasional ini memberikan keputusan untuk tidak lagi menggelontorkan bantuan pendanaan bagi perusahaan yang mengeksplorasi bahan bakar fosil. Hal ini dilakukan demi hal yang disebut "perubahan dunia secara cepat".
Baca Juga
Namun, Bank Dunia tetap akan mempertimbangkan untuk membiayai eksplorasi gas hulu di beberapa negara termiskin dunia. Hal ini merupakan pengecualian dengan catatan sumber energi tersebut tetap bisa dimanfaatkan untuk mendukung keberlangsungan lingkungan.
"Ini akan tetap kami lakukan jika hanya upaya tersebut selaras dengan komitmen Paris Agreements tentang perubahan iklim," mengutip keterangan Bank Dunia.
Ini bukanlah pertama kalinya Bank Dunia mengeluarkan kebijakan untuk mendukung isu keberlanjutan lingkungan.
Sebelumnya, Bank Dunia juga berjanji untuk memberikan 28 persen dari portofolio investasinya untuk mendukung riset di bidang pemanasan global pada 2020.
Kebijakan yang akan segera diterapkan ini merupakan pukulan telak bagi perusahaan yang bergerak di industri energi bahan bakar fosil, dan kemenangan yang signifikan bagi para pemerhati lingkungan.
Pelaku ekonomi di bidang energi memang sedang berbondong-bondong menyerukan kebijakan yang berfokus pada lingkungan. Diharapkan nantinya makin banyak perusahaan yang tertarik beralih untuk menggarap energi baru terbarukan (EBT).
Biaya operasional dan instalasi energi terbarukan yang kini semakin terjangkau di beberapa tempat di dunia juga menjadi penyebab perkembangan EBT makin banyak diminati.
Advertisement