Liputan6.com, Riyadh - Semasa hidupnya, petinju legendaris Muhammad Ali pernah mengunjungi Arab Saudi. Selain menunaikan ibadah haji, ia juga bertemu dengan sejumlah petinggi kerajaan.
Akun Twitter "Memory of the Beautiful Past" baru-baru ini memublikasikan foto langka saat petinju asal Amerika Serikat itu mengunjungi Arab Saudi pada 1971, 46 tahun lalu.
Baca Juga
Advertisement
Seperti dikutip dari Al Arabiya, Sabtu (16/12/2017), foto tersebut menunjukkan, Muhammad Ali berada di antara Pangeran Abdullah Al Faisal dan Pangeran Faisal bin Fahd.
Selama kunjungannya itu, Ali menunaikan ibadah haji dan umrah. Ia juga bertemu dengan Raja Faisal dan Raja Salman -- yang saat itu menjadi Emir Riyadh.
Sang petinju juga berkunjung ke sejumlah situs sejarah dan fasilitas olahraga di Negeri Petrodolar.
Salah satu twit memuat foto Muhammad Ali sedang mengunjungi Al Khobar.
Ali mengunjungi Arab Sadi beberapa kali setelah menjadi mualaf pada 1964, ketika ia mengganti namanya dari Cassius Marcellus Clay menjadi Muhammad Ali Clay.
Perjalanan Muhammad Ali Menjadi Muslim
Dunia gempar saat juara tinju kelas berat Cassius Marcellus Clay Jr mengumumkan bahwa ia telah menjadi seorang muslim pada 1964. Tak lama kemudian, pria itu menyandang nama baru: Muhammad Ali.
"Orang-orang menyebutnya sebagai 'Black Muslims'," kata Ali yang kala itu berusia 22 tahun, soal keyakinan barunya itu, seperti dikutip dari situs International Business Times, Sabtu (4/6/2016).
"Itu bahasa media. Bukan istilah resmi. Islam adalah sebuah agama. Ada 750 juta orang di seluruh dunia yang menjadi pemeluknya. Dan saya adalah salah satunya."
Pengumuman tersebut dilakukan segera setelah ia menang TKO ronde 7 dari 15 ronde yang direncanakan atas Sonny Liston di Florida, Amerika Serikat.
Sejak menjadi muslim, Ali mewakili wajah Islam di mata warga Amerika Serikat.
"Muhammad Ali mungkin adalah wajah Islam pertama bagi Amerika Serikat. Di mana untuk kali pertama menyadarkan bahwa muslim ada di AS," kata Ihsan Bagby, associate professor dari University of Kentucky, seperti dikutip dari Courier Journal.
Saat itu, Ali bukan hanya pahlawan bagi muslim. Prestasinya mewakili "black pride" -- kebanggaan kaum kulit berwarna bagi warga Amerika keturunan Afrika.
Selain itu, pahlawan bagi rakyat di dunia ketiga yang hidup pada era pascakolonial, di mana keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam sama sekali tak populer.
Muhammad Ali juga adalah penentang Perang Vietnam garis depan. Ia menentang program wajib militer ke Vietnam. "Saya tidak ada masalah dengan orang-orang Vietkkong, dan tidak ada satu pun orang Vietkkong yang memanggilku dengan sebutan Nigger!" kata dia.
Perjalanan spiritual Muhammad Ali sebagai muslim penuh lika-liku.
Pada 1965, Ali bergabung dalam organisasi kontroversial Nation of Islam yang alirannya berbeda dengan Islam pada umumnya.
Kemudian pada 1975, Ali mengikuti ajaran sunni, yang dipraktikkan mayoritas muslim di dunia. Perubahan tersebut terjadi ketika Amerika Serikat menjadi lebih multirasial -- dengan meningkatnya penduduk keturunan Arab, Asia, dan imigran muslim dari Eropa.
Belakangan Ali tertarik mendalami Sufi. "Sungai, kolam, danau, dan aliran air -- mereka semua unik, namun sama-sama berisi air. Demikian pula dengan agama, semua mengandung kebenaran," kata Ali di University of Louisville pada 2004.
Pascateror 9/11, ketika warga muslim, khususnya di Amerika Serikat, menanggung penghakiman atas kesalahan yang tidak mereka lakukan, pernyataan Muhammad Ali menentang anggapan yang mengaitkan aksi terorisme dengan Islam.
Petinju legendaris Muhammad Ali meninggal pada Jumat, 3 Juni 2016 malam waktu setempat atau Sabtu, 4 Juni 2016 pagi waktu Indonesia barat (WIB).
Baca Juga
Cek Fakta: Tidak Benar Video Cristiano Ronaldo Nonton Langsung di Stadion Laga Arab Saudi Vs Timnas Indonesia
Terinspirasi Suporter Jepang, Fans Timnas Indonesia Bersihkan Sampah di GBK Usai Laga Lawan Arab Saudi
Top 3 Berita Bola: Shin Tae-yong Ungkap Strategi Timnas Indonesia Bisa Kalahkan Arab Saudi
Advertisement