Liputan6SCTV, Bandung - Pisau-pisau berterbangan, menyasar target berupa potongan gelondong kayu. Olahraga berbalut seni keterampilan, inilah lempar pisau. Rabu dan Sabtu sore, anggota D'lempar Pisau rutin berlatih. Meski terkesan ekstrem, komunitas ini bukan monopoli kaum lelaki.
Sebut saja Kingkin, wanita asli Bandung ini, dua tahun sudah bermain bilah runcing besi. Tak lagi takut apalagi canggung, ia menyalurkan hobi sambil mengasah konsentrasi. Beda berlatih di arena, beda pula saat berlatih di rumah.
Advertisement
Aktivitas keseharian dara berusia 38 tahun ini seperti perempuan pada umumnya. Kesan maskulin bersama pisau, berganti sentuhan jemari penuh arti bersama kuas. Seperti siang itu, saat Kingkin tengah menyelesaikan pesanan buah tangan tas. Namun begitu, pangkal perasaannya tetap tak bisa dipisahkan dari bilah besi meruncing.
Turnamen lempar pisau masih sangat langka. Begitu momen itu tiba, sarjana Faklutas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Diponegoro, Semarang ini pantang melewatkanya.
Bandung, kota yang selalu punya cerita. Momen langka, turnamen terbuka lempar pisau singgah di jantung tatar Sunda. Berkonsentrasi, menyeleraskan kekuatan tolakan pada jarak tertentu, bilah demi bilah pisau runcing dilempar. Sejurus kemudian menancap pada sasaran log kayu yang diikuti keceriaan.
Bukan asal lempar pisau, berat dan panjang bilah mesti seusai aturan main. Ajang lomba yang jadi acuan hasil berlatih, termasuk bagi Kingkin. Tak semua pisau menancap sempurna dan mengalahkan emosi diri, itu yang utama.
Mengesampingkan ego, mengedepankan kewaspadaan, beware of flying metal, lintas sosial, lintas regional, pisau jadi media persahabatan yang butuh tanggung jawab dan kematangan mental. Pisau, perkakas multi-fungsi yang selalu mendampingi perjalanan peradaban manusia. Lebih dari sekadar alat bantu, tradisi yang sarat filosofi dan kaya makna.