3 Negara Ini Jadi Tujuan Alternatif Pengungsi, Indonesia?

Afrika Timur, Amerika Tengah, dan Asia Tenggara menjadi wilayah yang jadi tujuan utama pengungsi di tahun 2018.

oleh Afra Augesti diperbarui 19 Des 2017, 03:04 WIB
Seorang pengungsi menggendong anaknya saat tiba di Bidi Bidi, Uganda, Selasa (6/6). Bidi Bidi adalah pemukiman pengungsi terbesar di dunia yang menampung pengungsi Sudan Selatan. (AP Photo / Ben Curtis)

Liputan6.com, Jakarta - Belum pernah ada begitu banyak orang yang mengungsi atau bermigrasi untuk mencari pekerjaan dan keamanan. Sebagian besar ke Eropa, sebagian lagi ke tempat lain.

Akhir-akhir ini, semakin banyak orang yang melakukan migrasi. Mereka meninggalkan rumah demi mendapat kehidupan lebih baik, entah itu bagi diri sendiri atau keluarga.

Tak jarang pula migrasi mereka disebabkan adanya kerusuhan, penindasan dan penganiayaan di daerah tempat tinggalnya. PBB memperkirakan bahwa sekitar 244 juta orang di seluruh dunia tidak lagi tinggal di negara kelahirannya.

Sebuah survei yang dilakukan oleh International Organization for Migration (IOM) di 160 negara berbeda menunjukkan, sekitar 23 juta orang saat ini bersiap untuk bermigrasi. Inilah tiga destinasi favorit pengungsi, dilansir Deutsche Welle, Senin (18/12/2017).


1. Afrika Timur: Bepergian di Malam Hari

Sejumlah anak saat mengikuti lomba balap karung di kamp pengungsian di Darfur, Sudan (AAS/Ninth Mission in Darfur)

Banyak yang berspekulasi bahwa mayoritas imigran lari ke Eropa. Tapi, bukan itu faktanya.

Menurut organisasi bantuan Jerman, Bread for the World, sekitar 90 persen pengungsi tinggal di negara-negara berkembang, terutama Afrika. Misalnya saja, banyak orang mencari perlindungan di Ethiopia.

Ethiopia berada di urutan ke-5 dunia yang jadi tujuan utama para migran. Biasanya, mereka datang dari negara tetangga, seperti Somalia, yang dilanda perang sipil sejak awal 1990an.

Menurut PBB, hampir 7 juta orang hidupnya bergantung pada bantuan kemanusiaan, 800.000 di antaranya berisiko alami kelaparan. Lebih dari 1 juta penduduk Somalia melarikan diri ke Ethiopia dan negara tetangga lain, seperti Kenya yang sekarang menjadi rumah bagi kamp pengungsi terbesar di dunia.

Di Uganda, pemerintah menerapkan kebijakan khusus bagi para pengungsi. Pengungsi yang tiba di Uganda diberi sebidang tanah untuk dikultivasi. Aturan ini jelas meringankan para pengungsi yang melarikan diri dari Kongo atau Sudan Selatan, negara-negara yang diguncang pemberontakan dan perang sipil.

Namun, perjalanan dari Sudan Selatan amatlah berbahaya. Perjuangan mereka untuk menyelamatkan diri biasanya dilakukan pada malam hari karena takut ditangkap tentara.

"Setiap malam kami berdoa agar kami bisa sampai di Uganda hidup-hidup," ungkap seorang wanita dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh organisasi bantuan CARE pada bulan Juli.


2. Amerika Tengah: Kematian Menanti di Bantaran Sungai

Tembok perbatasan membentang antara AS dengan Meksiko, Rabu (25/1). Trump bersikukuh tembok adalah yang diperlukan untuk mengurangi masuknya imigran ilegal dari Amerika Selatan. (AFP PHOTO)

Kasus migrasi besar-besaran di benua Amerika menjadi sorotan internasional, sejak Presiden Amerika Serikat Donald Trump berencana membangun sebuah tembok raksasa di sepanjang perbatasan AS-Meksiko.

Jumlah orang yang melintasi perbatasan belum diketahui angka pastinya. Namun, Migration Policy Institute memperkirakan bahwa ada sekitar 11 juta migran yang tinggal di AS tanpa memiliki izin tinggal. Setengahnya berasal dari Meksiko.

Banyak orang dari El Salvador, Guatemala dan Honduras bermigrasi di Meksiko. Mereka tinggal di negara tersebut hanya sementara. Sampai tahun 2010, hanya pemuda saja yang bermigrasi ke utara.

Namun, Amnesty International melaporkan bahwa seluruh keluarga sekarang sedang bermigrasi, melarikan diri dari kekerasan yang dilakukan oleh kelompok kriminal di negara asal mereka. Jika mereka tidak bisa membaya para pedagang manusia untuk melintasi Meksiko, habislah hidup mereka di tangan penjahat terorganisir.

Kartel (sindikat penyelundup obat-obatan, pencucian uang, dan kejahatan terorganisasi yang berpusat di kota Culiacán, Sinaloa, dengan wilayah operasi yang mencakup negara bagian Baja California, Durango, Sonora, dan Chihuahua di Meksiko) berpatroli di bantaran sungai dekat perbatasan dan menyerang tanpa belas kasihan, membunuh pengungsi untuk memberi peringatan tegas.

Tidak diketahui berapa banyak nyawa melayang, namun di beberapa tempat di perbatasan kerap ditemukan kuburan massal yang menunjukkan kondisi korban.

The International Organization for Migration melaporkan pada tahun 2017 lebih dari 340 orang meninggal di sekitar perbatasan. Banyak yang dibunuh oleh kelompok kriminal, sementara lainnya tenggelam, mungkin saat mencoba menyeberangi sungai.

Ada pula yang tewas karena gigitan ular atau kalajengking, hingga kehausan lantaran suhu panas yang ekstrem. Dalam banyak kasus kematian migran, mayat biasanya ditemukan di pegunungan tandus di selatan negara bagian Arizona, AS.

 


3. Asia Tenggara: Tak Berdaya di Laut Lepas

Muslim Rohingya saat melakukan pelayaran maut untuk mengungsi dari Rakhine. (AFP)

Bukan hanya pengungsi Mediterania yang coba menyelamatkan diri menggunakan kapal reyot. Pemandangan seperti ini juga sering dijumpai di Asia Tenggara.

Akhir-akhir ini, semakin banyak orang mencoba melarikan diri dari Myanmar dan Bangladesh. Tujuan utama mereka adalah berlayar ke Thailand, Malaysia dan Indonesia. Kasus yang menimpa Muslim Rohingya, semisal.

Sejak pertengahan 2017, ratusan ribu Rohingya meninggalkan Myanmar dan melarikan diri ke negara perbatasan, Bangladesh. Mereka terdampar di laut selama berminggu-minggu, karena negara-negara di sekitarnya tidak mengizinkan mereka masuk.

Akhirnya, munculah perdagangan manusia. Mereka mencegat para pengungsi yang melintasi Teluk Benggala. Setiap tahun, puluhan ribu pengungsi meminta bantuan mereka.

Menurut badan amal Jerman, Stiftung Asienhaus, para pedagang manusia itu sangat brutal. Mereka menahan pengungsi yang terjebak di hutan dan menuntut uang tebusan, atau menyiksa mereka di atas kapal. Siapa pun yang meminta air atau makanan selama di kapal, akan dipukuli.

Laporan mencatat lebih dari 200 kuburan massal ditemukan di dekat sebuah kamp di perbatasan antara Thailand dan Malaysia. Bagi Rohingya, bertahan bukanlah pilihan.

Organisasi bantuan Doctors Without Borders baru-baru ini mengumumkan bahwa dalam satu bulan saja, antara akhir Agustus dan akhir September, sekitar 6.700 anggota kelompok minoritas terbunuh di Myanmar, termasuk di antaranya anak-anak.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya