Liputan6.com, Jakarta - Suasana Jalan Pulo Gundul, Johar Baru ramai, kendaraan bermotor lalu lalang di antara anak-anak yang bermain bola di jalanan sore itu. Warung-warung dan pedagang kaki lima memenuhi bahu jalan. Sesekali macet terjadi, apalagi terdapat Stasiun Sentiong di ujung jalan. Banyaknya penumpang yang keluar masuk stasiun menambah keramaian di sana.
Jalan Pulo Gundul berada di tepi Kali Sentiong, Johar Baru. Di salah satu bagian Kali Sentiong, terdapat sebuah jembatan unik. Tidak seperti banyak jembatan lain di atas Kali Sentiong yang fungsinya untuk menghubungkan Kampung Rawa dan Kota Paris, jembatan tersebut justru memisahkan kedua kampung.
Advertisement
Pada Agustus lalu, jembatan antara Kampung Rawa dan Kota Paris tersebut ditutup. Kedua ujungnya dibangun tembok semen, sehingga jembatan tersebut tidak bisa dilewati lagi. Lalu, mengapa jembatan tersebut harus ditutup?
Dulu, jembatan tersebut merupakan salah satu akses yang paling sering dilalui warga. Sebab, jembatan yang hanya cukup untuk satu motor ini mengarah langsung ke Pasar Gembrong. Adapun jembatan yang lebih besar, jalannya sedikit memutar jika ingin menuju pasar.
Satu-satunya alasan penutupan jembatan adalah tawuran. Perkelahian antarwarga ini sering kali terjadi di perbatasan antara Kampung Rawa, Tanah Tinggi, dan Galur ini.
Hampir setiap minggu selalu ada tawuran, bahkan pernah suatu masa, pertikaian terjadi setiap hari.
"Ini kayak jalur gitu. Paling cepet dari sini ke pasar. Biasa pada lewat sini. Makanya sering dilewati tawuran juga. Sebenarnya tawurannya enggak di sini. Di perempatan," jelas Rukayah, pemilik warung di Kota Paris dekat jembatan, Senin (18/12/2017).
Rukayah bercerita, sebelum jembatan ditutup, tawuran memang kerap terjadi. Jembatan tersebut menjadi salah satu akses massa tawuran. Tawuran bukan hanya terjadi antara Kampung Rawa dan Kota Paris, tetapi juga wilayah lain yang sengaja tawuran di daerah tersebut.
"Dulu ya ramai, yang sini lari ke sana, sana lari ke sini. Bawa batu, petasan. Kadang sih juga bukan orang sini. Orang luar punya temen di sini, terus ajak-ajak. Saya sih sudah diam saja gitu," kata Rukayah.
Semenjak ditutupnya jalur utama tersebut, tawuran benar sudah tidak terjadi. Terakhir, tawuran pecah saat bulan puasa sebelum tembok dibangun.
"Sekarang enggak ada, terakhir waktu puasa kemarin. Kalau di tempat lain enggak tahu tapi kalau sini mah enggak, enggak ada," ujar Rukayah.
Di perempatan yang menjadi perbatasan tiga kelurahan, yakni Tanah Tinggi, Kampung Rawa dan Galur, orang-orang masih beraktivitas seperti biasa. Rahmat (29) menceritakan hari-hari ketika masih sering terjadi tawuran. Dia sendiri pernah ikut tawuran belasan tahun yang lalu.
"Ya dulu hampir setiap hari. Anak-anak tanggung, anak SD, SMP, SMA. Anak-anak putus sekolah kan juga banyak. Kadang ya satu dua orang dewasa. Biasanya yang pengangguran," sebut Rahmat.
Penyebab tawuran sendiri sering kali sangat sepele dan kebanyakan orang yang terlibat tidak tahu-menahu penyebab tawuran.
"Paling cuma ejek-ejekan. Hal-hal sepele, mereka kan enggak ada kerjaan. Udah, terus nanti tahu-tahu ramai aja. Sampai enggak tahu kenapa tawuran, pokoknya tawuran aja," ungkap Rahmat.
Tawuran yang kerap terjadi memang meresahkan warga. Selain menyebabkan korban luka, tawuran juga merugikan secara materi. Lemparan batu dan petasan merusak kaca dan atap rumah. Warga juga sempat menutup jendela dengan tripleks dan terali besi.
"Iya, jadi rumah kan rusak kena batu. Makanya banyak ditutup tripleks sama besi. Tapi sekarang kalau tripleks sudah dibuka. Yang besi permanen biasanya masih," sebut Rahmat.
Selain itu, salah satu hal yang dikhawatirkan warga adalah kebakaran. "Orang sini takutnya kebakaran. Tahu sendiri kalau sini kan rawan kebakaran, rumah-rumah padat. Dari kembang api sama petasan itu yang bahaya," tambah Rahmat.
Ary, remaja yang sedang duduk-duduk di perempatan, enggan bercerita banyak soal tawuran. Ia malah mengajukan temannya untuk bercerita. Meski demikian, dia mengaku sering ikut tawuran.
"Ya gitu Bang, sering, dulu tapi. Sana Bang sering tawuran," kata Ary sambil menunjuk ke arah perempatan lain.
Teman Ary juga demikian. Dia memilih menghindar ketika hendak ditanya perihal tawuran.
Gerombolan remaja mudah ditemui, baik di Kampung Rawa, Kota Paris, maupun Galur. Mereka bisanya duduk-duduk di sudut jalan, di pinggir sungai maupun di warung-warung. Mereka terlihat hanya duduk-duduk mengobrol sambil merokok.
Memutus Rantai Tawuran
Suatu hari ketika Ani sedang berada di posyandu, tiba-tiba terdengar suara petasan. Dor! Dor! Dor! Istri Ketua RW 08 Kampung Rawa ini berlari menuju suara petasan membelah keramaian.
"Kita yang maju. Ke depan, ramai. Pulang! Pulang!" kata Ani memarahi massa tawuran suatu waktu.
Perempuan berambut hitam sebahu ini sering turun langsung ke tengah keramaian massa yang saling lempar batu dan petasan. Ani membubarkan massa tawuran hanya dengan tongkat kayu sambil memarahi orang-orang yang terlibat tawuran di jalanan.
"Saya sudah enggak tahu di tengah-tengah tawuran itu bakal gimana. Habisnya kan kepikiran juga, enggak tenang tiap hari tawuran. Syukur mau bubar, kitanya enggak kenapa-kenapa," ujar Ani.
Ani resah ketika menyadari tawuran akan terus berlangsung dan bahkan menjadi budaya jika tidak ditangani serius.
"Mungkin dulu karena enggak ada yang turun, mereka jadi terus-terusan (tawuran). Sekarang kalau malam kita keliling ke jembatan-jembatan, kalau lewat jam malam kita suruh pulang," jelas Ani.
Ani mengaku sudah muak dengan kebiasaan tawuran yang entah sejak kapan mulai terjadi. Menurut dia, sejak pertama tinggal di Kampung Rawa pada 1980, aksi tawuran sudah lebih dulu ada.
Ia juga mengatakan pernah menemukan senjata tajam dan bom molotov di bawah jembatan ketika berkeliling dengan warga. "Banyaklah asam garamnya sejak dulu mah tawuran. Saya perempuan sampai maju-maju. Pusing juga saya," ungkap Ani.
Suami Ani, Ketua RW 08 Kampung Rawa Yulianto, optimistis bahwa tawuran bisa benar-benar berhenti karena kebanyakan penyebab tawuran memang dipantik hal-hal sepele oleh oknum-oknum tertentu.
"Ada yang mancing, provokator, terus pada keluar semua. Anak Kota Paris ngiranya yang mulai sini, anak sini ngiranya yang mulai Kota Paris. Ada oknum-oknum yang menyebabkan itu," ungkap Yulianto.
Ia menambahkan, tidak ada alasan mendasar bagi warga untuk saling bertikai. "Pacar kesenggol tawuran, naik motor ngegas sedikit tawuran. Enggak ada yang direbutin sebenarnya, biasanya kan lahan parkir atau apa. Ini lahan enggak ada. Rebutin pepesan kosong, kan, ha-ha-ha," kata Yulianto.
Yulianto mengatakan, ditutupnya jembatan yang menjadi jalur utama tawuran merupakan salah satu upaya untuk mencegah tawuran terjadi lagi. Hal ini mengingat sebelumnya, jembatan pernah ditutup dengan pintu besi, tapi pintu tersebut jebol ditendangi massa tawuran.
"Itu dulu rencana mau dibongkar, atas kesepakatan pejabat wilayah. Tapi katanya enggak bisa karena pakai anggaran pemerintah. Akhirnya antara pejabat wilayah koordinasi jembatan ditutup," ucap Yulianto.
Advertisement
Komunikasi Membaik
Selain penutupan jembatan, pihak RW di Kampung Rawa, Tanah Tinggi dan Galur sepakat untuk saling berkomunikasi perihal situasi daerah masing-masing. Hal ini didukung pula dengan ronda malam untuk mencegah gesekan-gesekan antarwarga.
"Sekarang saling koordinasi, di sana gimana aman? Aman.. di sana gimana aman? Jadi kalau ada apa-apa kita cepet keluar. Saling kerja sama saja sih sebenernya. Jam malam sudah mulai digalakkan, jam sebelas. Udah mulai ngawasin kita. Alhamdulillah sampai detik ini jangan sampai ya," kata Yulianto.
Menurut Ani, kini para pemuda pun terus didorong untuk aktif dalam Karang Taruna serta mengikuti pengajian-pengajian di masjid kampung.
"Karang Taruna alhamdullihah, pengajian-pengajian, kita menatanya dari situ dulu. Kalau kita peduli, enggak ada tawuran, kalau enggak peduli, ya pada tawuran," jelas Ani.
Meski tak berharap tawuran agar terjadi lagi, Ani tetap mengimbau warga untuk berhati-hati.
"Jangan ditonton, malah tambah ramai, yang banyak memang yang nonton. Nonton nanti bisa terpancing," kata Ani.
"Jangan sampailah," sambung Yulianto.
Di depan warung kopi, bebarapa remaja tampak sedang memperbaiki motor. Beberapa bajaj terlihat berhenti di salah satu sudut Kampung Rawa. Rombongan pengamen dengan ondel-ondel serta alat musik lengkap melintas, sehingga menyebabkan kemacetan.
Perbatasan tiga kelurahan semakin ramai oleh pedagang kali lima menjelang petang. Anak-anak yang sejak siang bermain bola belum juga beranjak pulang. Orang-orang kini tak perlu lagi khawatir oleh batu dan petasan ketika hendak berlalu-lalang. (Andri Setiawan)
Saksikan video pilihan di bawah ini: