Liputan6.com, Jakarta Keberhasilan Ni Made Ratni, 24, asal Bali menjadi atlet rugby tak lepas dari perjuangannya bangkit seusai dua kakinya diamputasi pada tahun 2010. Wanita muda yang mulai berkiprah jadi atlet rugby di Bali Sports Foundation sejak 2014 menderita kelainan tulang di kedua kakinya. Ada permasalahan pada tempurung, yang menyebabkan kakinya menekuk ke depan.
Baca Juga
Advertisement
Saat ditemui di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, Ratni mengungkapkan, hidupnya berubah setelah kedua kakinya diamputasi. Dulu, sewaktu belum diamputasi, ia belum pernah mengecap sekolah formal, SD. Aktivitas Ratni sehari-hari juga terhambat.
"Saya susah keluar rumah, jalan kemanapun enggak bisa, sampai harus dibantu ayah saya. Sampai akhirnya, saya potong kaki (amputasi) juga. Setelah potong kaki itu, saya mulai bangkit dan bersekolah di sekolah formal. Yang berubah itu, saya akhirnya bisa jalan sendiri (pakai kursi roda). Sekarang jadi bisa mandiri, enggak mau merepotkan orangtua," ungkap atlet rugby yang tahun depan bergabung dengan Tim Rugby Kursi Roda New South Wales, Australia, ditulis Rabu (20/12/2017).
Meski kedua kaki Ratni diamputasi, ia tidak pernah menyesali kehidupan yang dimilikinya. Jika orang lain mungkin depresi atau trauma karena tidak punya kaki, Ratni malah tidak merasakan kedua kondisi tersebut. Ia hanya merasa 'kehilangan' kaki saja.
"Ya, kehilangan saja. Yang tadinya punya kaki terus tiba-tiba enggak punya kaki. Sebenarnya, saya memberanikan diri potong kaki. Walaupun orangtua saya awalnya tidak setuju. Nah, di sini (setelah kaki diamputasi), puncak pembuktian saya kepada orangtua. Meski saya sudah potong kaki, saya bisa melakukan semua aktivitas sendiri," ujar wanita, anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Ia pun tidak harus dibantu dalam menjalankan aktivitas. Beraktivitas jadi lebih gampang. Ketika Ratni pergi kemana-mana pun bersama dengan teman-teman atlet rugby, sesama disabilitas di Bali Sports Foundation. Mereka saling membantu, seperti saling mendorong kursi roda saat ada tanjakan atau naik tangga.
Simak video menarik berikut ini:
Masuk sekolah formal
Salah satu perubahan terbesar Ratni setelah diamputasi adalah ia bisa mengecap pendidikan di sekolah formal. Karena ia tidak pernah sekolah dan tidak masuk SD, ia mengikuti Kejar Paket A (setara SD) untuk lulus SD.
"Saya belajar otodidak, ya belajar membaca dan berhitung sendiri. Kan saya enggak pernah sekolah. Belajar juga enggak didampingi guru. Jadi, saya pinjam buku SD punya kakak. Dari situ, saya belajar. Ternyata saya bisa juga baca tulis," ujar Ratni dengan wajah riang.
Sebelum mengikuti Kejar Paket A, Ratni rupanya harus lulus tes kelas 5 SD. Jika ia lulus tes kelas 5 SD, maka ia bisa mengikuti ikut ujian Kejar Paket A. Ini adalah syarat agar ia lulus SD, meski tidak pernah masuk SD.
Akhirnya, Ratni lulus Kejar Paket A. Tidak seperti kebanyakan anak lain, yang lulus SD berusia 11 tahun, Ratni lulus SD dengan Kejar Paket A saat berusia 16 tahun. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA formal.
Advertisement
Alami diskriminasi
Ketika duduk di bangku sekolah, Ratni merasakan diskriminasi. Ini terjadi karena dirinya termasuk orang yang disabilitas. Pengalaman diskriminasi ini terjadi saat dirinya SMA. Ia mereka teman-temannya saat SMA tidak secara langsung mem-bully.
"Tapi mereka nge-bully-nya secara halus. Jadi, pas saya naik kelas 2 SMA kan ada seleksi untuk dapat kelas favorit. Kebetulan saya berhasil masuk di kelas favorit. Teman-teman, yang tadinya enggak mau ngajak saya ngobrol dan suka menghindar kalau saya dekati malah ngedeketin saya," cerita Ratni.
Berkat perjuangan Ratni giat belajar dan berhasil membuktikan diri masuk kelas favorit dan merebut juara kelas, teman-teman Ratni baru mau bergaul dengan Ratni. Adanya perubahan sikap dari teman-teman sangat disayangkan Ratni. Ia justru mempertanyakan, kenapa setelah dirinya berprestasi, teman-temannya baru menunjukkan, care (perhatian). Kenapa tidak memberikan perhatian dan bergaul saja sejak awal.
Tak hanya perubahan sikap dari teman-teman sekolah, di lingkungan tempat tinggal Ratni, ia juga merasakan hal serupa.
"Rumah saya tinggal di pelosok desa. Saya sangat merasakan perubahan setelah saya diamputasi dan bisa aktif di olahraga rugby. Dulu, di desa banyak anggapan, 'Dia (maksudnya saya) disablitas tidak bisa apa-apa. Kerjaannya hanya di rumah dan menyusahkan orangtua saja," lanjut Ratni.
Sejak diamputasi dan lebih mandiri, Ratni juga makin percaya diri, ia berusaha bangkit, menyelesaikan sekolah sampai SMA dan menjadi atlet rugby. Ternyata setelah Ratni sukses mandiri dan berprestasi, masyarakat di sekitar tempat tinggal baru pada mau perhatian.
Tantangan yang dialami
Ratni juga mengalami tantangan saat menggunakan kursi roda. Pada suatu hari, ia sedang berjalan-jalan bersama teman-temannya yang juga menggunakan kursi roda. Saat berjalan keluar di jalan, banyak orang yang melihat Ratni dan teman-temannya cuek.
"Mereka enggak mau bantuin. Jadi, pas ada tanjakan atau gajlukan gitu itu kan kursi roda harus dinaikin. Jadi, saya sendiri yang narikin kursi roda dia. Teman saya itu turun dari kursi roda. Kalau jalanannya enggak mulus juga sama kayak gitu," ujar Ratni.
Menurut Ratni, di Bali, fasilitas untuk disablitas bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain belum mendukung. Berbeda saat dirinya berkunjung ke Australia dan Singapura. Akses fasilitas disabilitas sudah sangat bagus. Bahkan di Australia, disabilitas diperlakukan istimewa.
Meski banyak tantangan yang dialami, Ratni berprinsip, jangan takut untuk bermimpi.
"Terkadang orang kan suka bilang, 'Ngapain sih mimpi kayak gitu. Buang-buang waktu aja.' Itu enggak benar. Yang benar, mimpi bisa jadi motivasi. Buktikan kalau kita bisa dan pasti bisa mencapai mimpi kita," ucap Ratni sambil tersenyum.
Ditanya ingin melanjutkan kuliah atau tidak. Ia mengaku, ada keinginan untuk kuliah tapi masih belum bisa membagi waktu untuk kuliah. Kini, Ratni fokus untuk ikut berbagai macam kompetisi rugby.
Advertisement