Liputan6.com, Washington, DC - Krisis Yerusalem memasuki babak baru. Amerika Serikat pada Senin, 18 Desember 2017 memveto sebuah rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mendesak organisasi internasional itu menolak keputusan Presiden Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Seperti dikutip dari alaraby.co.uk pada Rabu (20/12/2017), veto AS pada Senin lalu tercatat merupakan yang ke-43 kalinya yang digunakan Negeri Paman Sam untuk melindungi Israel.
Dalam rancangan resolusi itu disebutkan bahwa setiap keputusan mengenai status Yerusalem "tidak memiliki efek hukum, tidak sah dan harus dibatalkan".
Tidak hanya menolak pengakuan soal status wilayah itu, namun DK PBB juga menentang perintah Trump untuk memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Baca Juga
Advertisement
Merespons rancangan resolusi tersebut, Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan, "Amerika Serikat tidak akan didikte oleh negara manapun soal lokasi kedutaan besar kami. Apa yang kita saksikan hari ini di DK PBB adalah sebuah penghinaan, tidak akan dilupakan".
AS merupakan satu-satunya anggota DK PBB yang menentang rancangan resolusi tersebut, sementara 14 negara lainnya termasuk sekutu AS, yakni Inggris dan Prancis mendukungnya.
Sejarah Hak Veto AS untuk Bela Israel
Veto pertama yang digunakan AS untuk membela sekutu utamanya, Israel, terjadi pada tahun 1972. Saat itu Washington menentang resolusi terkait keprihatinan mendalam pada "situasi yang memburuk di Timur Tengah" dan agresi Israel di perbatasan Lebanon.
Resolusi serupa juga diveto oleh AS pada tahun-tahun berikutnya.
Pada tahun 1975, ketika perang saudara pecah di Lebanon, resolusi S/11898 mendesak Israel agar segera menghentikan seluruh serangan militer melawan Lebanon. Dan AS tercatat sebagai satu-satunya negara yang memveto putusan tersebut.
Tahun 1982 dilihat sebagai momentum yang paling menunjukkan dukungan AS terhadap Israel. Saat agresi Israel mencapai puncaknya, AS memveto tujuh resolusi, termasuk sanksi yang dijatuhkan kepada Israel karena mencaplok Dataran Tinggi Golan dan kecaman atas upaya pembunuhan terhadap Wali Kota Nablus, Bassam Shakaa.
Pada tahun 1985, 1986 dan 1988, AS memveto resolusi serupa. Perang saudara di Lebanon sendiri berakhir pada 1990, namun Israel tidak kunjung menarik diri dari selatan negara itu hingga tahun 2000.
Pada tahun 1983, Washington memveto sebuah rancangan resolusi yang mengecam pembantaian pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Shatila di Lebanon. AS juga telah melindungi Israel saat rancangan resolusi mengecam pelanggaran kesucian Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, pengambilalihan tanah Palestina, serta tindakan keras dan represif Israel terhadap warga Palestina.
Pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat juga telah memicu respons DK PBB, namun lagi-lagi AS selalu menggagalkannya melalui hak veto termasuk dua rancangan resolusi yang diajukan pada Maret 1997.
Rancangan resolusi DK PBB juga pernah berusaha mengutuk Israel atas pembunuhan beberapa personel PBB serta penghancuran gudang Program Pangan Dunia (WFP) yang dilakukan dengan sengaja.
Advertisement
Obama Memang Beda
Rancangan resolusi yang diajukan DK PBB pada Senin 18 Desember 2017, terjadi nyaris tepat satu tahun setelah Resolusi 2334 yang mengkritik Israel atas perluasan permukiman di Tepi Barat. Putusan 2334 menyebut tindakan Israel itu merupakan "pelanggaran mencolok menurut hukum internasional".
Dalam pemungutan suara yang diambil di hari-hari terakhir pemerintahan Barack Obama, 14 dari 15 anggota DK PBB mendukung rancangan resolusi 2334. Sementara AS saat itu memilih abstain, atau dengan kata lain secara tidak langsung meloloskannya.
Pemerintahan Obama dianggap "mematahkan" tradisi lama yang melindungi sekutu terdekatnya di Timur Tengah. Namun Obama berpendapat lain. Ia menilai pembangunan permukiman telah merusak jalan potensial menuju kesepakatan damai antara Israel dan Palestina.
Adapun Israel menangguhkan dana sekitar US$ 6 juta yang seharusnya ditujukan kepada PBB sebagai bentuk protes atas resolusi tersebut.