Liputan6.com, Jakarta - Sebagai seorang linguis yang tinggal di Indonesia dan berasal dari Indonesia, sudah sepatutnya saya merasa bersyukur. Bagaimana tidak, saya tinggal di sebuah negara dengan jumlah bahasa terbesar kedua di dunia. Artinya, pekerjaan saya sebagai seorang linguis tidak akan ada habisnya.
Namun, kenyataan itu ternyata tidak didukung oleh fakta di lapangan. Banyak linguis bukan berarti banyak pula yang penelitiannya berfokus pada deskripsi bahasa-bahasa minoritas. Justru, pada saat ini kita masih sangat kekurangan linguis lokal yang meneliti bahasa-bahasa minoritas.
Baca Juga
Advertisement
Di sisi lain, masih banyak bahasa yang belum terdokumentasi di Indonesia. Kenapa dokumentasi bahasa ini menjadi sangat penting? Di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, fenomena yang banyak terlihat adalah sulitnya menghitung secara statistik bahasa-bahasa yang terancam punah di suatu wilayah.
Hal ini karena minimnya ketersediaan data atau dokumentasi bahasa-bahasa tersebut, baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk rekaman suara penutur. Dengan demikian, yang diperlukan untuk kasus bahasa-bahasa minoritas di Indonesia adalah melakukan dokumentasi bahasa secara menyeluruh sebagai bahan dasar untuk meneliti situasi kebahasaan dengan lebih komprehensif.
Sebagai tambahan pula, dari sekian banyak bahasa yang ada di Indonesia, bahasa yang memiliki tulisan hanya sekitar 5%. Di wilayah Indonesia bagian timur, misalnya, kita masih menjumpai sedikit sekali bahasa yang memiliki tulisan.
Pulau Kisar yang merupakan salah satu pulau terdepan di wilayah Indonesia bagian timur dan berbatasan langsung dengan Timor Leste adalah satu di antara banyak wilayah di Indonesia yang memiliki diversifitas kebahasaan yang tinggi. Selain itu, pulau ini juga memiliki sejarah yang panjang dan penting pada zaman kolonial.
Bahkan lebih jauh dari itu, di pulau ini ditemukan adanya lukisan gua yang berhubungan dengan migrasi orang-orang Austronesia pada masa lalu.
Di pulau ini terdapat dua bahasa yang dipergunakan oleh dua suku yang hidup berdampingan, yaitu bahasa Meher dan bahasa Woirata. Bahasa Meher yang digunakan oleh suku Meher, merupakan bahasa yang termasuk ke dalam rumpun Austronesia, sementara itu bahasa Woirata termasuk ke dalam rumpun bahasa non-Austronesia (disebut juga rumpun bahasa Papua) yang memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa Papua yang tersebar di wilayah Timor-Alor-Pantar.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, ada sekitar 1566 penduduk yang tersebar di dua desa, Desa Oirata Barat dan Desa Oirata Timur. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai petani dan peternak. Mereka bertani jagung dan beternak kambing.
Dalam bahasa mereka, mereka memiliki istilah halapai, tuapai, metipai, dan lorpai, yang berarti ‘berkebun’, ‘membuat arak’, ‘melaut/nelayan’, dan ‘beternak’. Mereka berkebun di samping rumah dan memelihara kambing di sekitar tanjung.
Mereka juga memelihara babi dan ayam di sekitar rumah. Pada malam hari, sebagian dari mereka masih ada yang pergi ke laut untuk mencari ikan. Pekerjaan yang mereka lakukan ini kebanyakan hanya untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka juga terkadang mencari uang dari menjual sofi (arak khas wilayah Maluku).
Bahasa Woirata Kini Hampir Punah
Dari segi penelitian bahasa, bahasa Woirata sebagai bahasa minoritas di pulau ini memiliki lingkungan yang sangat menarik. Sebab, bahasa Woirata ini ternyata merupakan satu-satunya bahasa non-Austronesia di Maluku Barat Daya dan Maluku Tenggara.
Dari 27 bahasa yang ada di wilayah tersebut, hanya bahasa Woirata yang berasal dari rumpun keluarga yang berbeda. Dengan semakin intensnya kontak dengan bahasa-bahasa lain, dapat pula kita katakan bahwa kemungkinan vitalitas bahasa ini semakin melemah serta sudah pula terjadi pergeseran bahasa yang cukup serius.
Antropolog Belanda, De Josselin de Jong, yang meneliti bahasa ini sekitar 80 tahun yang lalu menyatakan bahwa pada tahun 1935 bahasa ini memiliki sekitar 1500 penutur. Selanjutnya beberapa puluh tahun kemudian, Ethnologue menyebutkan bahwa penutur bahasa ini hanya 1200 orang.
Bahkan, pada awal tahun 2000-an sebuah penelitian mengungkapkan bahwa bahasa ini sudah termasuk ke dalam kategori Moribund (yang berarti hampir mati) karena hanya memiliki penutur kurang dari 50 orang. Meskipun kita masih bisa mempertanyakan soal penghitungan tersebut, ada satu hal yang sudah jelas, yaitu jumlah penutur bahasa itu semakin lama semakin berkurang.
Berdasarkan penelitian lapangan yang penulis lakukan, penutur bahasa ini mulai jauh berkurang hingga kira-kira hanya sedikit saja yang masih menggunakan bahasa Woirata dengan tingkat kefasihan yang berbeda-beda. Hal ini juga diperparah dengan terputusnya transmisi bahasa antargenerasi di kalangan mereka sendiri, sehingga banyak anak muda yang kesulitan, atau bahkan sama sekali tidak bisa menggunakan bahasa Woirata.
Kita membutuhkan penelusuran lebih dalam lagi untuk mengetahui sejauh mana bahasa tersebut bergeser dalam 80 tahun terakhir ini. Ada banyak kejadian yang dapat memicu pergeseran bahasa, seperti situasi politik, kondisi ekonomi, kondisi transportasi, serta perubahan sikap bahasa.
Bahasa Woirata merupakan salah satu yang masih cukup beruntung karena masih memiliki dokumentasi, meskipun awalnya hanya satu buah buku yang disusun pada tahun 1935 hingga sekarang yang sudah berhasil, dengan bantuan para peneliti di P2KK LIPI. Salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah menyusun kamus kecil, menyusun buku cerita sejarah, satu buah film dokumenter, serta sistem penulisan.
Ketersediaan dokumentasi bahasa yang baik merupakan salah satu hal dasar yang musti dipenuhi jika kita ingin memulai revitalisasi terhadap bahasa-bahasa yang terancam punah. Namun, tetap saja, ketersediaan dokumentasi juga tidak menjamin bahwa bahasa itu tidak akan punah pada suatu waktu nanti. Kita masih tetap memerlukan peran serta aktif dari para penuturnya. Selain itu, kita juga perlu melihat dan mempertimbangkan sikap penutur itu sendiri.
Meskipun revitalisasi bahasa itu penting, penutur-penutur tersebut memiliki hak atas bahasa mereka. Mereka juga berhak untuk memilih apa yang akan mereka lakukan terhadap bahasa mereka. Pada hakikatnya, keberlangsungan sebuah bahasa akan selalu bergantung pada penuturnya.
*Staf pengajar linguistik di Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, kandidat doktor di Universitas Leiden, Belanda
Advertisement