Liputan6.com, Den Haag - Setelah menggelar persidangan selama 10.800 hari, mendengar keterangan dari 4.560 saksi, dan mengolah sekitar 2,5 juta halaman transkrip wawancara, Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Pecahan Yugoslavia (ICTY) resmi dibubarkan pada Kamis, 21 Desember 2017.
Upacara pembubaran itu akan dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dan akan dihadiri oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Pembubaran ICTY menandai berakhirnya 24 tahun penyelidikan dan penuntutan yang menghasilkan 161 dakwaan ternama terhadap sejumlah figur pemerintahan negara pecahan Yugoslavia. Demikian seperti dikutip The Guardian, Kamis (21/12/2017).
Baca Juga
Advertisement
Mulai dari Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic, pemimpin eks-Daerah Otonom Serb-Bosnia Radovan Karadzic dan Jenderal Serb-Bosnia Ratko Mladic telah diseret ke meja hijau ICTY.
Sementara itu, 90 individu telah dihukum atas kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan dan bentuk pidana lainnya.
Mereka semua merupakan figur dari berbagai bidang, seperti politikus, pejabat, perwira militer senior dan polisi.
Namun, kesuksesan besar dalam memburu para individu yang bertanggung jawab memakan waktu puluhan tahun. Proses yang memakan waktu lama menuai kritik dari berbagai pihak, yang menyebut bahwa ICTY memihak kepada sejumlah kelompok.
Ada yang menyebut ICTY sengaja menargetkan individu beretnis Serbia. Namun, kelompok lain berdalih, pengadilan tersebut justru wajar menyerang Serbia, mengingat kelompok etnis tersebut memberikan dampak kerugian terbesar kepada etnis Bosnia.
Kendati demikian, pembubaran ICTY juga menandai perubahan baru dalam konstelasi pengadilan internasional serupa, seperti konflik Balkan, Rwanda, atau Sierra Leone. Agar penyelesaian kasus-kasus serupa seperti perang Yugoslavia dapat diselesaikan sesuai dengan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan selaras dengan koridor ICTY.
"Pecahnya Yugoslavia telah menjadi katalisator dengan konsekuensi yang sangat signifikan. Dan warisan ICTY sangat penting karena dapat menjadi tonggak konsensus bagi penyelesaian kasus kejahatan perang di bagian lain di dunia," kata Philippe Sands, profesor hukum internasional di University College London.
Di antara prestasi ICTY adalah akumulasi keahlian dan kesaksian hukum, arsip bukti yang komprehensif, serta munculnya konsep joint criminal enterprise-- sebuah doktrin yang digunakan untuk menjerat terdakwa dengan pasal berencana untuk melakukan genosida atau kejahatan kemanusiaan secara bersama-sama'.
Sir Geoffrey Nice, hakim ICTY antara tahun 1998 - 2006 dan terlibat dalam penuntutan Presiden Slobodan Milosevic, mengatakan, "Kami (para hakim) berusaha sebisa mungkin untuk menjaga kasus yang kami tangani bersih tanpa campur tangan berbagai pihak yang tidak semestinya terlibat."
Nice juga mengakui bahwa ada sejumlah ketidaksempurnaan dari eksistensi dan operabilitas ICTY selama ini. Seperti salah satunya, proses hukum yang begitu lama dan memakan waktu selama bertahun-tahun.
"Namun di sisi positif, semua warga dunia berharap agar seluruh kejahatan perang di dunia, dapat dipertanggungjawabkan menggunakan mekanisme seperti ICTY," tambahnya.
Sementara itu, jaksa terkemuka ICTY, Serge Brammertz, mengakui bahwa pengadilan tersebut belum mencapai rekonsiliasi secara penuh di negara pecahan Yugoslavia.
"Seperti yang telah kita lihat, kejahatan telah meninggalkan luka yang masih belum sembuh. Penjahat perang yang dijinakkan terus dipandang oleh banyak orang sebagai pahlawan, sementara korban dan orang-orang yang selamat diabaikan dan diberhentikan."
Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Pecahan Yugoslavia
Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Pecahan Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia, ICTY) adalah sebuah badan PBB yang didirikan untuk mengadili para penjahat perang di Yugoslavia.
Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan terletak di Den Haag, Belanda.
Badan itu didirikan oleh Resolusi 827 dari Dewan Keamanan PBB, yang diluncurkan pada tanggal 25 Mei 1993.
Badan ini memiliki yurisdiksi mengenai beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan di wilayah mantan negara Yugoslavia semenjak 1991, pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran undang-undang perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Badan ini hanya bisa mengadili orang secara pribadi dan bukan organisasi atau pemerintahan.
Advertisement