Liputan6.com, Washington, DC - Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, menyerukan diberikannya tekanan internasional yang lebih kuat terhadap komandan militer Myanmar setelah dirinya dilarang mengunjungi negara itu.
Yanghee sebenarnya dijadwalkan mengunjungi Myanmar pada Januari mendatang untuk menilai dugaan pelanggaran HAM di seluruh kawasan di negara itu, termasuk dugaan pelanggaran HAM terhadap muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Namun, belakangan Myanmar mengatakan pada Yanghee bahwa ia tidak lagi diterima di negara itu. Dalam pernyataannya, Yanghee mengungkap kecurigaan bahwa "pasti ada sesuatu yang mengerikan terjadi" di Myanmar, sehingga memicu munculnya larangan kunjungan tersebut.
"Dari apa yang saya lihat sekarang, saya tidak yakin bahwa mereka merasa tertekan. Saya tidak yakin apakah tekanan yang tepat diberikan pada para komandan dan jenderal militer," tutur Yanghee seperti dikutip dari abc.net.au pada Kamis (21/12/2017).
Perempuan itu juga mengkhawatirkan bahwa Myanmar mendapat sokongan kuat dari China, yang memiliki hak veto selaku anggota tetap di Dewan Keamanan PBB. Adapun Amerika Serikat dan kelompok pemantau HAM, menurut Yanghee, menganjurkan sanksi yang menargetkan militer Myanmar.
"Menurut saya, PBB dan negara-negara anggotanya harus benar-benar berusaha meyakinkan China untuk benar-benar melindungi hak asasi manusia," papar Yanghee.
Kunjungan Yanghee pada Januari mendatang rencananya juga bertujuan untuk menentukan prosedur kepulangan pengungsi Rohinya dan menyelidiki peningkatan pertempuran di daerah Kachin dan Shan.
Pemerintah Myanmar telah berulang kali membantah tudingan terkait dugaan pelanggaran HAM.
Baca Juga
Advertisement
"Mereka mengatakan bahwa mereka tidak menyembunyikan apa-apa. Namun kurangnya kerja sama atas mandat saya dan misi pencari fakta mencuatkan kecurigaan lain," ungkap Yanghee.
Yanghee, bagaimana pun, tidak dapat menutup rasa bingung dan kecewanya karena menurutnya dua pekan lalu, Duta Besar Myanmar untuk PBB, Htin Lynn, telah menyatakan kepada Dewan HAM PBB bahwa pihaknya akan terus bekerja sama.
Lebih dari 650 ribu warga Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak 25 Agustus lalu, tepatnya ketika kelompok bersenjata Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang sejumlah pos keamanan Myanmar. Peristiwa itu memicu respons keras dari militer Myanmar dan warga mayoritas.
Ribuan Warga Rohingya Tewas dalam Satu Bulan?
Survei yang dilakukan oleh Medecins Sans Frontieres (MSR) menyimpulkan, setidaknya 6.700 warga Rohingya tewas dalam waktu satu bulan setelah gelombang kekerasan pecah di Myanmar pada Agustus lalu.
Kesimpulan MSR didasarkan pada survei yang dilakukan terhadap pengungsi Rohingya di Bangladesh. Jumlah tersebut lebih tinggi dibanding angka resmi yang dirilis pemerintah Myanmar, yakni 400 orang.
Survei MSF juga menemukan bahwa setidaknya 9.000 warga Rohingya tewas di Myanmar selama 25 Agustus hingga 24 September.
Pejabat Tinggi Urusan HAM PBB Zeid Ra'ad al-Hussein menyebutkan, kekerasan yang menimpa warga Rohingya adalah contoh pembersihan etnis. Ia menyatakan, kelak tidak akan terkejut jika pengadilan akhirnya memutuskan bahwa praktik genosida telah terjadi.
Advertisement