Ini Tanggapan Turki Atas Ancaman Trump Jelang Sidang Umum PBB

Trump mengancam negara mana saja yang mendukung resolusi PBB. Namun Wakil PM Turki, Bekir Bozdağ menegaskan, pihaknya tak gentar.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 21 Des 2017, 17:32 WIB
Wakil PM Turki Bekir Bozdağ (AFP)

Liputan6.com, Istanbul - Wakil Perdana Menteri Turki, Bekir Bozdağ, mengecam ancaman yang dilontarkan Donald Trump terhadap negara-negara yang kelak mendukung rancangan resolusi dalam forum sidang darurat Majelis Umum PBB yang akan digelar pada Kamis, 21 Desember waktu Amerika Serikat.

Menyikapi sidang darurat Majelis Umum PBB, Trump memperingatkan akan memutus kucuran bantuan "miliaran" dolar AS bagi negara mana saja yang mendukung rancangan resolusi penolakan atas pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

"Mereka (negara-negara yang dibantu AS) mendapat ratusan juta dolar dan bahkan miliaran dolar, lalu mereka memberikan suara yang melawan kita. Baiklah, mari kita saksikan pemungutan suara itu. Biarkan mereka memilih untuk melawan kita," terang Trump pada Rabu waktu Washington.

Presiden ke-45 AS itu menambahkan, "Kita akan banyak berhemat. Kami tidak peduli. Tapi ini tidak akan seperti dulu lagi di mana mereka memilih melawan dan kemudian kita memberi mereka ratusan juta dolar. Kita tidak lagi bisa dimanfaatkan."

Sementara itu, menyikapi ancaman Trump, Bozdağ menulis di akun Twitternya, "Ancaman Presiden Trump terhadap negara-negara yang menentang kebijakan AS atas Yerusalem tidak dapat diterima. AS harus tahu bahwa mereka tidak dapat memaksa negara berdaulat dengan tekanan dan ancaman. Voting besok adalah kesempatan untuk menunjukkan hal ini."

Bozdağ pun menegaskan bahwa tidak satu pun negara berdaulat dan independen akan menyerah pada ancaman dan tekanan Trump. Demikian seperti dikutip dari media Turkiyenisafak pada Kamis (21/12/2017).

"Turki akan mempertahankan pendirian dan sikap yang benar, dan sekali lagi akan menegaskan perlindungan terhadap kepentingan Palestina dan status Yerusalem melalui pemungutan suara yang akan segera dilakukan. Turki tidak akan mengubah keputusan berdasarkan ancaman atau tekanan," tulis Bozdağ.

Adapun Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, menyebut ancaman Trump menunjukkan bahwa AS telah melakukan intimidasi.

"Tidak ada negara terhormat yang akan tunduk pada tekanan semacam itu," tegas Cavusoglu. "Dunia telah berubah. Keyakinan 'saya kuat oleh karena itu saya benar' telah berubah. Dunia saat ini berontak melawan ketidakadilan".

Adapun Duta Besar Saint Vincent and Grenadine -- sebuah negara kecil di Kepulauan Karibia -- Rhonda King, dikabarkan mengirim surat balasan untuk merespons surat yang Haley. Ia menekankan bahwa negaranya menghargai AS sebagai "sekutu abadi". Namun ia akan tetap mendukung resolusi PBB atau dengan kata lain menentang pengakuan AS atas Yerusalem.

"Kadang-kadang, teman itu berbeda. Soal Yerusalem, Saint Vincent and Grenadine pun tak sama dengan AS, begitu juga dengan teman dan sekutu AS lainnya. Kami dengan lembut mendesak pemerintah AS memikirkan kembali posisinya dan pendekatannya terhadap masalah ini secara keseluruhan," tutur King seperti dikutip dari foxnews.com.


Ancaman AS

Warga Palestina saat bentrok dengan petugas Israel di kota Bethlehem, Tepi Barat, (7/12). Donald Trump juga menyerukan agar kedubes AS di Tel Aviv segera dipindah ke Yerusalem. (AP Photo/Nasser Shiyoukhi)

Ancaman Trump tersebut muncul setelah Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, lebih dulu merilis ultimatum bahwa ia akan melapor pada Trump, nama-nama yang mendukung rancangan resolusi untuk menentang kebijakan AS mengakui Yerusalem ibu kota Israel.

Peringatan Haley tersebut dirilisnya melalui sebuah surat yang kemudian diedarkan kepada para Duta Besar PBB, termasuk diplomat asal Eropa.

Dalam suratnya, Haley menulis, "Sebagaimana Anda memberikan suara Anda, saya ingin Anda tahu bahwa Presiden (Trump) dan AS meresponsnya secara personal. Presiden akan menyimak pemungutan suara dengan saksama dan meminta saya melaporkan padanya siapa saja yang telah melawan kami".

Sementara itu melalui akun Twitternya, Haley mentwit, "Di PBB, kami selalu diminta untuk berbuat banyak dan memberikan banyak. Jadi, ketika kami membuat sebuah keputusan, berdasarkan keinginan rakyat AS, tentang dimana lokasi Kedubes kami, maka kami tidak mengharapkan pihak yang telah banyak kami bantu menargetkan kami..."

Sebenarnya, rancangan resolusi terbaru di Majelis Umum PBB nantinya sangat mirip dengan yang digagas di forum DK PBB. Yang berbeda hanya, di Majelis Umum PBB, penggunaan hak veto tidak berlaku.

Rancangan resolusi tersebut menegaskan kembali 10 resolusi DK PBB sebelumnya, termasuk yang menyebutkan bahwa status akhir Yerusalem harus diputuskan dalam perundingan langsung antara Palestina dan Israel.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya