Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah mengkaji kenaikan bea masuk untuk impor tembakau dari yang saat ini berlaku lima persen. Langkah ini dilakukan untuk membatasi impor tembakau sehingga industri rokok menyerap 100 persen tembakau produksi domestik.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengaku perlu ada rekomendasi dari Kementerian Pertanian dalam proses pengajuan izin importasi tembakau ke dalam negeri. Lantaran ada aturan larangan dan pembatasan (lartas) impor bahan baku industri.
"Kami bilang jangan pakai lartas lagi (impor tembakau). Kalau mau, pakai bea masuk saja lebih transparan (kenaikan). Dari pada minta rekomendasi, tidak keluar-keluar, mabok lagi semua," ujar Darmin di kantornya, Jakarta, Jumat (22/12/2017).
Baca Juga
Advertisement
Rencana kenaikan tarif bea masuk ini, Darmin menuturkan akan berlaku untuk impor tembakau yang belum diproduksi di domestik maupun impor atas kekurangan bahan baku tembakau.
"Disepakati kalau tembakau yang belum dihasilkan di Indonesia akan dikenakan (kenaikan) bea masuk, dan yang sudah dihasilkan di Indonesia tapi belum cukup juga sama kebijakannya," papar dia.
Akan tetapi, Darmin mengaku belum menghitung besaran tarif kenaikan bea masuk untuk impor tembakau. "Kami belum tahu berapa, biar mereka (kementerian/lembaga) terkait menghitungnya," ujar mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu.
Kenaikan bea masuk tersebut untuk membatasi impor tembakau dan industri rokok wajib menyerap 100 persen tembakau domestik.
"Kalau sudah terserap (100 persen) baru boleh impor. Kalau tidak (terserap bersih), akan dikenakan tarif yang belum tahu," ucap Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto menambahkan, pemerintah ingin mengurangi impor tembakau dengan kebijakan ini.
"Wajib serap produksi lokal supaya impor berkurang lah. Makanya kita buat perencanaan, salah satunya dikenakan bea masuk (kenaikan)," ujar dia.
Pemerintah, Panggah mengatakan, akan membuat peta jalan (road map) pembagian kebutuhan tembakau di Indonesia maupun produksi dalam negeri setiap tahun.
"Jadi nanti setiap perusahaan rokok akan dibikin road map Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Pertanian duduk bersama menentukan kira-kira setiap tahun produksi dalam negeri ini berapa. Jangan sampai kita paksakan produksi dalam negeri tidak ada, tapi tidak bisa impor, sehingga lebih baik bea masuk," ujar Panggah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kemenperin Khawatir Kebijakan Impor Tembakau Sulitkan Pabrikan
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) khawatir Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau akan mempersulit pabrikan rokok dalam memeroleh bahan baku untuk produksi.
Saat ini, ada beberapa jenis tembakau yang tidak dapat tumbuh di Indonesia sehingga pabrikan terpaksa mengimpor tembakau dari negara lain.
"Prinsipnya, menyulitkan industri," kata Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Abdul Rochim kepada wartawan di Jakarta, Senin 11 Desember 2017.
Rochim mengaku paham bahwa ada kekhawatiran bahwa tembakau petani tidak dapat terserap sepenuhnya. Kendati demikian, ia mengajukan solusi lain, yaitu menaikkan biaya masuk impor tembakau. "Jadi, tidak perlu melalui regulasi," kata Abdul.
Salah satu poin yang tercantum dalam permendag mewajibkan pelaku usaha untuk mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian agar dapat mengantongi izin impor dari Kemendag. Saat ini Kementan belum memiliki petunjuk teknis (juknis) terkait rekomendasi tersebut.
Rochim mengatakan, hal ini berpotensi menghambat proses produksi pabrikan. "Prinsip industri kan, proses harus jalan terus. Tapi kalau gantung, nggak dapat bahan baku, kan pekerja menjadi sulit," katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi), Suhardjo, mengatakan, permendag ini telah mengecilkan industri rokok nasional. Ia beralasan, beberapa jenis tembakau yang dibutuhkan industri memang tidak dapat tumbuh di Indonesia.
"Intinya, ini membuat kita semakin tidak nyaman bekerja," kata Suhardjo.
Ia juga mengkritisi aturan yang mewajibkan pelaku usaha yang melakukan impor tembakau untuk mengikuti pelaksanaan verifikasi oleh surveyor yang mana biayanya dibebankan pada pelaku usaha.
"Ini berarti kita belum bergerak, sudah dikerjain dulu. Jadi kan ini kita jadi tidak bisa kerja," katanya.
Pasal tersebut mengamanatkan adanya verifikasi atau penelusuran teknis dari setiap pelaksanaan impor tembakau oleh surveyor yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Biaya atas pelaksanaan verifikasi kemudian dibebankan pada industri.
Advertisement