Upaya Ibu-Ibu Kendeng Kembalikan Makna Hari Ibu

Berbagai bencana alam seperti kekeringan, banjir bandang, tanah longsor sebenarnya tanda bahwa bumi sedang minta tolong untuk diselamatkan.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 23 Des 2017, 17:04 WIB
Kothekan lesung sebagai refleksi menjaga bumi dengan gembira. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang Anyengkuyung lan nuladha (mendukung dan meneladani) / Para Ibu kang sengkut mbela Pertiwi (Ibu-ibu yang bersemangat membela bumi pertiwi) / Jiwo rogo nggo pituku (Jiwa dan raga sebagai penukar) / Mrih pertiwi raharja (Agar bumi pertiwi selamat, makmur dan sejahtera) / Mangga dulur samya nguwati anusul (Silakan saudara memperkuatnya dengan menyusul) / Nyuwun Pak Jokowi tumindak (Memohon Pak Jokowi untuk bertindak) / Nylametke Ibu Bumi (Menyelamatkan ibu Bumi)

Enam baris lirik tembang macapat jenis Pangkur ini mengalun sebagai intro sebuah tembang Jawa, mengalun dari celah bibir Sukinah, saat menggelar peringatan Hari Ibu, Jumat, 22 Desember 2017 di lereng Pegunungan Kendeng. Tembang pangkur biasanya berisi nasihat atau ajakan.

Menurut Sukinah, lantunan tembang Pangkur itu dipilih karena dalam urut-urutan tembang macapat, pangkur menduduki posisi cukup tinggi. Tembang pangkur hanya didedikasikan kepada manusia yang sudah mampu membuang hawa nafsunya.

"Pangkur niku saking tembung mungkur. Wigatosipun mundur. Dados ingkang dipun tembangaken pangkur menika piyantun ingkang namung mikir darma tumrap sesami (Pangkur itu dari kata mungkur. Artinya mundur. Jadi yang dinyanyikan pangkur itu adalah orang hanya berpikir untuk berdarma kepada sesama makhluk hidup)," kata Sukinah.

Sukinah, banyak yang menjuluki dia Kartini dari lereng Kendeng. (foto:Liputan6.com/dok JM-PPK/edhie prayitno ige)

Di Indonesia, 22 Desember selalu dimaknai sebagai penghormatan kepada kaum wanita. Menurut Sukinah, memanfaatkan momentum hari ibu itu, para perempuan pegunungan Kendeng berjuang membela dan menyelamatkan ibu dari segala ibu, Bumi.

Ditambahkan, bumi adalah ibu yang memberi hidup dan penghidupan sejak nenek moyang hingga hari ini dan yang akan datang. Saat ini, Bumi sudah semakin hancur. Jika tak ada aksi penyelamatan, nasib anak cucu menjadi taruhannya.

"Monggo dipun pirsani, Bumi mesti pikantuk mboten adil. (Lihatlah, Bumi selalu diperlakukan tidak adil)," kata Sukinah.

Yang dimaksud Sukinah adalah perbuatan manusia yang selalu mengeruk hasil bumi tanpa kontrol. Tentu hanya untuk kepentingan ekonomi dan memenuhi nafsu agar kaya. Berbagai bencana alam seperti kekeringan, banjir bandang, tanah longsor sebenarnya tanda bahwa bumi sedang minta tolong untuk diselamatkan. Dan pegunungan Kendeng menjadi salah satu titik yang diincar untuk ditikam dengan belati industri.

 


Ibu yang Dirusak

Area yang hijau ini terancam musnah dan hanya akan tinggal cerita jika Kendeng tak dilestarikan. (foto : Liputan6.com/dok JM-PPK/edhie prayitno ige)

Bagi warga lereng pegunungan Kendeng, saat ini bumi sudah memanggil manusia yang hidup di bumi. Hanya manusia dengan kesadaran tinggi terbebas dari nafsu duniawi yang bisa mengerti bahasa bumi.

"Sedaya sampun dipun aturi penguripan. Toya ingkang mili, hawa ingkang resik. Sedaya awit saking kasaenan ibu Bumi. (Semua sudah dihidupi. Air mengalir, udara bersih. Semua karena bumi yang baik hati)," kata Sukinah.

Peringatan hari ibu dengan cara berbeda ini menurut Sukinah, karena masyarakat pegunungan Kendeng ingat adanya harapan ketika pemilu 2014. Saat itu Jokowi memang memberi harapan besar. Jokowi berasal dari rakyat biasa dianggap tahu ketidakadilan yang dialami rakyatnya.

Menurut Sukinah, Indonesia yang agraris dan maritim, kaya raya akan sumber daya alam, kaya raya akan hasil bumi ternyata menyisakan kemiskinan di mana-mana. Hal itu karena kesalahan pengelolaan oleh penyelenggara negara.

Berbagai hasil bumi disertakan sebagai bukti Bumi adalah ibu segala ibu yang menghidupi seluruh makhluk. (foto: Liputan6.com/dok JM-PPK/edhie prayitno ige)

"Warga Kendeng niku tani. Rabuk kimia, bibit hibrida mboten mitulungi, namung ndadosaken pabrikipun sansaya ageng. Petani gumantung pabrik. (Warga pegunungan Kendeng itu petani. Pupuk kimia, bibit hibrida nyatanya tak menyejahterakan petani, namun menguntungkan investor. Petani menjadi ketergantungan)," katanya.

Khusus untuk masyarakat pegunungan Kendeng yang masuk peta geologi Karst kelas I yang harus dilindungi, ternyata ancaman bertambah. Pembangunan pabrik semen yang akan mengeruk pegunungan subur itu dikhawatirkan menutup mata air atau sumber air.

"Sak menika dipun tambah sumber toya badhe dipun keruk. Ibu-ibu niki kepengin dados petani ingkang sae, mboten namung tetanem, namung ngrawat bumi ugi. (Sekarang sumber air akan dikeruk. Ibu-ibu Kendeng ingin menjadi petani yang baik, yang tak hanya menanam namun merawat bumi)," lanjut Sukinah.

Dalam peringatan hari Ibu itu, dibacakan pula surat terbuka untuk Presiden Jokowi. Intinya mereka menginginkan agar Jokowi turun tangan ikut menyelamatkan pegunungan Kendeng.

 


Surat Terbuka untuk Presiden

Lesung yang sesungguhnya peralatan petani, menjelma menjadi "klangenan" petinggi dengan dalih adi luhung. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Berikut isi surat selengkapnya.

"Yth Bapak Presiden, yang telah kami percayai bisa membawa kehidupan kaum marhaen menjadi lebih baik lagi, yang kami percayai bisa menyelamatkan sumber daya alam yang masih tersisa, untuk merenungkan kembali arah kebijakkan pembangunan.

Ibu Bumi memanggil Bapak untuk bekerja keras menyelamatkannya. Rakyat hanya punya hati. Hati inilah yang telah kami berikan kepada Bapak tiga tahun yang lalu. Jangan pernah sia-siakan hati rakyat.

Kami juga mengajak semua wanita Indonesia untuk bangkit dan sadar bahwa Ibu Bumi “sedang sakit”. Buah rahim kita bertumbuh dengan baik dan sehat karena Ibu Bumi yang telah memberikan kecukupan makan dan minum. Ingatlah, bahwa tanah dan air adalah karya Sang Semesta Penguasa Jagad. Sudah kewajiban kita mensyukurinya dengan bersama-sama menjaga kelestarian Ibu Bumi."

Bagi warga Kendeng, menjaga bumi adalah kewajiban bagi semua makhluk. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Dalam aksi itu, mereka memainkan lesung sebagai alat musik para petani. Aksi ini sekaligus sebagai kritik bahwa peringatan hari Ibu selama ini sudah bergeser menjadi konsumtif yakni memberikan bingkisan artifisial buatan industri. Demikian pula "kothekan" lesung sudah dijadikan sebagai musik "klangenan" para petinggi.

"Lesung niku kagem nutu gabah dados beras. Sak menika dipun pindah wonten kantor-kantor dados penglipuran para penggede. (Lesung itu fungsinya untuk menumbuk gabah agar jadi beras. Tapi sekarang hanya menjadi hiburan para pembesar dengan dalih adiluhung)," kata Sukinah.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya