Kata BNPB soal Pencabutan Tanggap Darurat Gunung Agung

Presiden Jokowi sebelumnya mencabut status tanggap darurat Gunung Agung.

oleh Dewi Divianta diperbarui 24 Des 2017, 09:00 WIB
Foto diambil oleh Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana dari Pelabuhan Tanah Ampo, Karangasem (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Liputan6.com, Denpasar - Status tanggap darurat Gunung Agung resmi dicabut pemerintah. Alasannya, dengan status tersebut banyak negara mengeluarkan travel banned bagi warganya bepergian ke Bali. Pencabutan status tersebut tak dipermasalahkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kepala Pusat Data dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, tak mempersoalkan pencabutan status tanggap darurat tersebut.

"Toh, ini hanya untuk kepentingan administrasi penggunaan anggaran dan logistik saja. Yang penting pemerintah masih akan terus membantu penanganan pengungsi," kata Sutopo saat dikonfirmasi Liputan6.com, Sabtu, 23 Desember 2017.

Sutopo mengakui jika penggunaan istilah darurat bencana di daerah lain di Indonesia selama ini tidak pernah ada masalah. Namun, karena bencana tersebut terjadi di Bali yang dimaknai lain oleh banyak pihak dengan arti yang lain pula, diksi darurat menjadi sensitif.

"Makanya perlu diganti dengan istilah lain," ujarnya.

Bagi dia, soal status tanggap darurat dalam penanggulangan bencana, keadaan atau status darurat baik itu siaga darurat, tanggap darurat ataupun transisi darurat menuju pemulihan, sesungguhnya hanyalah administrasi belaka.

Administrasi itu diperlukan agar ada kemudahan akses, baik pengerahan SDM, dana, dan logistik saat terjadi bencana erupsi Gunung Agung. Status keadaan darurat yang ditetapkan kepala daerah pada dasarnya hanya syarat administrasi untuk memudahkan penanganan bencana.

"Perlu diskresi agar bencana dapat ditangani dengan cepat dan tepat," kata Sutopo.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Landasan Hukum

Pengungsi Gunung Agung di GOR Swecapura, Klungkung, Bali. (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Dengan status tanggap darurat, Sutopo menyebut BNPB memiliki landasan hukum untuk mengeluarkan bantuan Dana Siap Pakai (DSP) ke pemerintah daerah di mana bencana terjadi. Di sisi lain Kementerian Sosial juga dapat mengeluarkan bantuan cadangan beras di gudang dengan status tanggap darurat.

Status tanggap darurat juga sejatinya diperlukan bagi pemerintah daerah untuk menjadi dasar penggunaan dana Belanja Tak Terduga (BTT).

Hanya saja, masalah timbul manakala banyak pihak tak memahami pengertian diksi tanggap darurat. Dalam benak mereka, imbuh Sutopo, status tersebut menandakan sebuah wilayah dalam kondisi krisis, kaos, genting, tidak nyaman, dan bahaya untuk dikunjungi.

Ia mengakui kata darurat dalam beberapa hal digunakan untuk sesuatu yang menyatakan terjadinya situasi kaos.

Sebut saja, darurat sipil atau darurat militer. Tetapi, darurat bencana berbeda pengertian dengan kedua istilah tersebut. "Darurat bencana hanya persoalan administrasi belaka agar tak menjadi temuan dan memudahkan penanganannya secara cepat dan tepat," paparnya.

Sementara bagi negara-negara asing yang jarang terjadi bencana, yang dipikirkan dengan penggunaan kata tanggap darurat sama halnya bermakna terjadinya kondisi genting dan akan dapat membahayakan warganya jika berkunjung ke Bali.

Pemahaman yang salah seolah-olah Bali tidak aman akibat status Awas dan erupsi Gunung Agung itu banyak terjadi di masyarakat luar. "Informasi yang berlebihan dan hoax yang bermunculan menyebabkan beberapa negara mengeluarkan travel warning," tutur Sutopo.

Terbatasnya informasi kondisi yang sebenarnya tentang erupsi Gunung Agung dan dampaknya, khususnya ke masyarakat internasional menyebabkan seolah-olah Bali tidak aman.

"Akhirnya banyak negara mendefinisikan kata darurat bencana dengan pengertian darurat yang mengerikan. Banyak negara lain yang belum paham soal definisi dan arti darurat bencana," ujar dia.

Atas dasar itulah, menurut Sutopo, Presiden Jokowi meminta mencabut status tanggap darurat bencana Gunung Agung.

"Sebagai pengganti atau dasar hukum agar pemerintah dan pemda dapat kemudahan akses akan dituangkan dalam peraturan presiden (Perpres) sebagai payung hukum untuk membantu penanganan pengungsi Gunung Agung," Sutopo menegaskan.


Warga di Zona Merah Tetap Mengungsi

Gunung Agung mengembuskan asap saat matahari terbit (sunrise) terlihat dari Kintamani, Bali, Rabu (13/12). Visual Gunung Agung tampak cerah, asap yang keluar dari kawah gunung itu masih rutin keluar meski tidak secara menerus. (AP Photo/Firdia Lisnawati)

Meski status tanggap darurat telah dicabut, Sutopo tetap mengimbau masyarakat dalam radius 8-10 kilometer dari puncak kawah Gunung Agung harus tetap mengungsi.

"Tidak boleh kembali ke rumahnya. Gunung Agung juga masih berbahaya. Patokannya tetap rekomendasi PVMBG," pinta dia.

Di sisi lain, Sutopo menjelaskan jika kerugian ekonomi Bali memang luar biasa akibat bencana erupsi Gunung Agung. "Melebihi siklon Cempaka menerjang Jawa. Sampai saat ini masih ada lima negara menetapkan travel warning ke Bali," tuturnya.

Apa pun yang terjadi, menurut Sutopo, terpenting pengungsi tertangani dengan baik. Hanya memerlukan payung hukum administrasi yang mudah guna mengeluarkan DSP, BTT dan beras.

Makanya, perlu ada diskresi. Ada perlakuan khusus. Tanpa status tanggap darurat pun yang penting tetap dapat menggunakan anggaran atau tetap ada kemudahan akses.

"Apa pun istilah penggantinya nanti akan dituangkan dalam perpres. Sebab diksi darurat ternyata implikasinya luas terhadap Bali," Sutopo memungkasi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya