Liputan6.com, Jakarta - 'Tsunami' akibat masalah yang dibuat sendiri oleh aktivitas pembangunan manusia, meningkatnya air laut, dan isu perubahan iklim merupakan kombinasi ancaman yang harus segera diselesaikan oleh Jakarta, jika tak ingin Ibu Kota Indonesia itu tenggelam dan berakhir menjadi kota bawah air.
Demikian artikel yang ditulis oleh seorang jurnalis media ternama asal Amerika Serikat, The New York Times (21/12/2017) memaparkan tentang potensi tenggelamnya Jakarta yang semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang.
"Aneh rasanya. Dari tahun ke tahun, air laut semakin mendekat ke daratan," kata seorang warga Jakarta kepada Michael Kimmelman, sang jurnalis TNYT yang menulis artikel tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Perubahan iklim membuat air Laut Jawa di kawasan Jakarta mengalami peningkatan. Cuaca ekstrem yang melanda kota yang dulu bernama Batavia itu, semakin memperparah keadan.
Banjir, kata Kimmelman, menjadi masalah rutin menahun. Awal tahun 2017 saja, luapan air ekstrem membuat Jakarta yang berpenduduk 30 juta jiwa, sontak lumpuh beraktivitas.
Akan tetapi, menurut pakar klimatologi Irvan Pulungan kepada TNYT, perubahan iklim bukan satu-satunya problema.
Masalah lain adalah aktivitas pembangunan berskala besar yang tak memerhatikan dampak lingkungan, kurangnya perencanaan tata kota, minimnya saluran pembuangan yang optimal, dan bangunan besar yang menenggelamkan tanah hingga lebih rendah dari permukaan air laut, adalah suatu masalah pelik, kompleks dan telah mengakar di Jakarta.
Kimmelman memberikan segelintir contoh. Ia menulis bahwa sejumlah entitas di Jakarta telah dan sedang menggali sumur-sumur dan pipa air ilegal. Juga pengaspalan serta pembetonan permukaan tanah yang justru berdampak buruk bagi kota.
Aktivitas penggalian pipa itu perlahan mengikis lapisan akuifer -- lapisan tanah yang seharusnya berperan sebagai penampung serta pengalir air. Lapisan itu juga menjadi 'bantalan raksasa' untuk mencegah bibir pantai Jakarta terperosok di bawah permukaan laut.
Pengaspalan dan pembetonan juga membuat wilayah Jakarta kehilangan tanah resapan air.
Buruknya, tak ada langkah optimal baik dari masyarakat atau pemerintah untuk memulihkan lapisan tanah akuifer yang terkikis dan berkurangnya tanah resapan air di Jakarta.
Kawasan Muara Baru, Jakarta Utara adalah salah satu dari sekian banyak wilayah di Jakarta yang terdampak problema di atas.
Kimmelman menulis, akibat masalah tersebut (terkikisnya akuifer dan minimya tanah resapan air) Muara Baru, Jakarta telah tenggelam sebanyak 4 meter -- mengakibatkan air laut meningkat di kawasan itu -- dalam beberapa tahun terakhir.
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mengehentikan tenggelamnya 'The Big Durian', pemerintah dan masyarakat kota harus menghentikan segala aktivitas pembangunan dan penggalian yang mengikis lapisan akuifer dan tanah resapan air.
Dalam konteks pipa dan sumur air, pemerintah harus intens melakukan pengawasan agar proyek tersebut harus sesuai dengan prinsip analisis dampak lingkungan (Amdal) dan tentunya, terlaksana secara legal berdasarkan persetujuan negara.
Membersihkan sungai dan saluran pembuangan adalah tugas sederhana, tetapi memerlukan biaya miliaran rupiah agar mampu berjalan efektif dan optimal serta memberikan dampak yang signifikan bagi kota, kata Kimmelman.
Sterilisasi wilayah muara, kanal, dan tepi sungai dari bangunan penduduk juga menjadi 'pekerjaan rumah' berat nan kompleks yang mesti dilakukan oleh pemerintah Jakarta.
Namun, bukan berarti sterilisasi tepi sungai dan saluran dari bangunan penduduk -- yang berarti penggusuran -- merupakan cara efektif satu-satunya.
"Bukan berarti seluruhnya (penduduk di tepi sungai di Jakarta) harus digusur," kata Elisa Sutanudjaja, pakar perkotaan kepada Kimmelman.
Elisa berkata kepada Kimmelman bahwa pemerintah seharusnya melakukan pemberdayaan dan optimalisasi -- bukan sterilisasi -- bagi penduduk di tepi sungai.
"Kami (kelompok aktivis pro-warga tepi sungai) ingin menunjukkan kepada pemerintah bahwa kampung warga di tepian sungai sesungguhnya mampu membawa manfaat tersendiri bagi lingkungan sekitarnya," sambung Kamil Muhammad aktivis sekaligus arsitek tata kota untuk Architecture Sans Frontieres-Indonesia.
JanJaap Brinkman berkomentar senada. Pakar hidrologis Belanda Deltares yang telah mempelajari tata kota Jakarta selama sedakade terakhir itu memang setuju bahwa pemindahan segelintir kelompok penduduk di tepian sungai bukan sebuah cara yang benar-benar efektif.
Namun, Brinkman justru berpendapat bahwa pemerintah perlu "Melakukan langkah yang lebih besar lagi".
Advertisement
Langkah Besar Seperti Apa?
JanJaap Brinkman mengusulkan tentang pembangunan tanggul air raksasa di pesisir pantai Jakarta Utara untuk mencegah meluapnya air dari laut yang mampu mengakibatkan banjir rob. Solusi lain, tak lagi menetapkan Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia, yang mungkin akan memberikan jawaban besar dan krusial bagi semua masalah di Batavia.
Namun, pakar lingkungan Ardhasena Sopalheluwakan menawarkan solusi alternatif.
Ardhasena mengatakan, "Pendekatan terbaik adalah bukan membangun tanggul raksasa, tapi mengembalikan bagian Jakarta di utara ke alam."
"Yakni dengan memulihkan kembali kawasan rawa gambut dan meremajakan kembali lusinan waduk yang kini terbengkalai di Jakarta Utara," tambahnya.
Pemulihan kembali, seperti yang diutarakan Ardhasena, adalah gagasan yang pernah dilakukan oleh Kota Tokyo, Jepang.
Mereka mengalami kendala yang sama seperti Jakarta jauh pada pengujung Perang Dunia II. Namun, kendala itu dapat diatasi oleh Tokyo, dengan mengadopsi kebijakan re-development kota yang ketat dan displin, kreatif, inovatif serta berorientasi pada lingkungan.
Semua proses itu memakan waktu lama. Tokyo pun dulu begitu.
Maka kini, pemerintah dihadapkan pada sebuah pertanyaan retoris, "Seberapa cepat aparatur DKI mampu mengatasi itu semua, ketika (masalah yang ditimbulkan oleh) alam tak mau menunggu?" tutup pakar klimatologi Irvan Pulungan.
Saksikan video pilihan berikut ini: