Liputan6.com, Bangkalan - Saya tiba di Pulau Gili Trawangan jelang sore, Jumat, 22 Desember 2017. Naik speedboat satu jam dari pelabuhan Teluk Nare di daerah Senggigi, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Sewa kapal ini relatif mahal, yakni Rp 1,2 juta untuk pulang pergi.
Gili Dive, nama kapal yang saya tumpangi, bersandar di dermaga apung. Ini dermaga darurat karena dermaga utama dari beton sedang diperbaiki.
Di ujung dermaga, di sebuah tenda, beberapa pria memanggil. Mereka meminta lihat KTP dan menulis identitas saya dalam buku. Katanya, untuk data dan keamanan. Mereka tidak minta uang. Saya dipersilakan melanjutkan perjalanan.
Di sekitar dermaga banyak dokar mini ngetem. Orang lokal menyebutnya Cidomo, singkatan cikar dokar montor. Disebut begitu karena ban cikar pakai ban mobil.
Saya menginap di Hotel Gili Sands, sekitar 500 meter dari dermaga. Sewanya antara Rp 500 hingga Rp 650 ribu per malam. Ada kolam renang dan musala di belakang.
Baca Juga
Advertisement
Hotel itu sedang direnovasi. Setelah berganti pemilik, nama berganti dari Ruddies menjadi Gili Sands. Ceceran cat dan semen banyak di lantai, pekerja bangunannya didatangkan dari Pulau Jawa.
Semua pesisir Gili Trawangan penuh hotel. Konsepnya sama dibangun menghadap pantai. Di depan hotel, terdapat jalan utama yang becek kalau hujan. Di seberang jalan depan hotel, ada deretan kursi panjang dan bangku buat berjemur lengkap dengan mini bar di bawah pohon santeki.
Gili Trawangan amat bebas. Kehidupan menyesuaikan gaya hidup orang bule, bar-bar memajang aneka bir. Wisatawan lokal atau asing bebas menenggak bir di pinggir pantai.
Turis perempuan bebas berbikini ke mana pun pergi. Tiap malam, hotel-hotel menggelar pesta pinggir pantai bergiliran. Rata-rata bule menetap paling lama enam bulan dan paling sebentar dua pekan. Makanya, Gili Trawangan disebut juga "kampung bule".
Untuk backpackers, bisa cari penginapan murah yang dikelola warga lokal. Letaknya di bekalang hotel, masuk gang. Biayanya antara Rp 100 hingga Rp 300 ribu per malam tanpa sarapan.
Salman, warga setempat, mengatakan akhir tahun ini pengunjung Gili Trawangan sepi karena terdampak erupsi Gunung Agung di Bali.
Cara mengukur sepinya wisatawan sederhana. Bila Cidomo lancar lalu lalang angkut penumpang, baik siang atau malam, itu tanda sepi wisatawan.
"Kalau banyak wisatawan, jalan kaki saja susah kita," kata dia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pulau Tanpa Polusi
Yang paling menyenangkan dari Gili Trawangan adalah bebas polusi dan tidak bising, tak ada kendaraan bermotor di sana. Selain Cidomo, alat transportasi lain adalah sepeda angin dan sepeda listrik. Beberapa hotel berbintang menyediakan sepeda gratis untuk tamu.
Bila hotel tak menyediakan, banyak penyewaan sepeda angin di depan hotel. Tarifnya Rp 50 ribu per hari. Bisa juga sewa per jam, ongkosnya Rp 15 hingga Rp 25 ribu per jam, tergantung kondisi sepeda.
Wisatawan menyewa sepeda umumnya untuk keliling pulau, butuh waktu 1,5 jam untuk mengitari Gili Trawangan yang memiliki garis pantai sepanjang 3 kilometer dan lebar 2 kilometer.
Nyaris tak ada lahan kosong di pesisir Gili Trawangan. Kalau pun ada, sudah dipasang plang lengkap dengan keterangan perusahaan pemiliknya. Pemandangan dari semua titik pesisir Trawangan memang indah dan eksotis.
Selain hamparan laut yang biru, di kaki langit ada gugusan pulau-pulau Lombok yang eksotis. Pada pagi dan sore, wisatawan merubung di pesisir pantai untuk melihat sunset dan matahari terbit. Dentuman music reggae dari kafe-kafe membuat suasana tambah asyik.
Advertisement
Jangan Lewatkan Snorkeling
Yang tak boleh dilewatkan ketika berkunjung ke Gili Trawangan adalah snorkeling. Di depan hotel banyak kios yang menawarkan jasa snorkeling. Mereka hanya melayani snorkeling berjemaah, minimal 10 orang sekali berangkat.
Tarifnya berkisar antara Rp 90 hingga 200 ribu per orang. Yang 90 ribu hanya satu spot, yang 200 ribu berpindah-pindah hingga tiga spot menyelam. Untuk tarif, pandailah menawar. Kadang ada beberapa kios yang bersedia memberi harga murah dengan banyak spot.
Kawasan pesisir Trawangan sebenarnya sudah rusak, terumbu karang banyak mati. Andri, pemandu saya, mengatakan tak ada lagi spot snorkeling di sana. Terumbu karang rusak sejak kapal cepat melayani rute penyeberangan ke Gili Trawangan.
Untuk snorkeling, biasanya wisatawan dibawa ke pulau terdekat, yaitu Pulau Gili Air, sekitar 20 menit naik kapal motor. Spot menyelam dangkal, tak sampai satu mil dari pantai.
Gili Air relatif lebih alami, hanya ada dua tiga bangunan di pesisir pantai. Beberapa bule tampak memancing di pesisir dan lainnya mengobrol di kedai.
Meski sepi, sebagaian pesisir pantainya telah dipagar seng cat putih. Saya lihat satu kapal motor merapat, menurunkan puluhan sak semen, buruhnya perempuan. Sepertinya akan segera ada pembangunan di sana.
Selain Gilir Air, ada juga Pulau Gili Meno. Keindahannya tak kalah eksotis. Ada hotel berbintang di sana, spot snorkeling juga banyak, tapi sedikit wisatawan yang berminat ke sana.