Pedagang Keluhkan Kelangkaan Beras Medium di Pasar Cipinang

Pedagang di Pasar Induk Beras Cipinang mengeluhkan kelangkaan beras medium. Solusinya mengandalkan pasokan beras hasil operasi pasar Bulog.

oleh Septian Deny diperbarui 27 Des 2017, 10:09 WIB
Seorang kuli angkut menata tumpukan karung beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Senin (25/9). Penetapan HET beras kualitas medium zona Maluku, termasuk Maluku Utara dan Papua, HET Rp 10.250/kg dan Rp 13.600/kg untuk premium. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pasar Induk Beras Cipinang mengalami kelangkaan beras medium. Akibatnya, pedagang harus mengandalkan beras operasi pasar dari Perum Bulog untuk memenuhi kebutuhan beras medium tersebut.‎

Ketua Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang, Zulkifly Rasyid, mengatakan kelangkaan beras medium terjadi sejak Oktober-November tahun ini. Padahal, biasanya pasokan beras medium ke pasar induk mencapai 2.000 ton per hari.

"Ini sudah sejak dua bulan lalu. Pasar di sini yang masuk (biasanya) sekitar 3.000 ton, 2.000 ton itu yang beras medium, 1.000 ton premium," ujar Rasyid di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Rabu (27/12/2017).

Dia mengungkapkan, selama dua bulan terakhir, pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang terpaksa mengandalkan beras dari operasi pasar yang dilakukan oleh Bulog. Namun, stok beras itu pun masih belum mencukupi.

"Beras medium tidak ada, kami tertolong beras operasi pasar. Yang jelas ada kekhawatiran kami untuk beras medium," kata dia.

Sementara itu, salah satu pedagang di Pasar Induk Beras Cipinang, Nellys, menyatakan beras yang digelontorkan oleh Perum Bulog sangat terbatas. Beras tersebut hanya mampu bertahan dalam empat hari saja.

"Ini harus segera disikapi, solusinya bagaimana, yang kosong medium itu. Itu (beras Bulog) untuk seminggu cuma bertahan empat-lima hari," tandas dia.

Tonton Video Pilihan Ini


HET Tak Efektif Turunkan Harga Beras

Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif menurunkan harga beras. Kebijakan ini menempatkan pedagang eceran sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menjaga harga beras.

Padahal, panjangnya mata rantai distribusi membuat harga beras sudah lebih mahal sebelum sampai di tangan pedagang eceran.

Berdasarkan penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), sejumlah pedagang beras eceran di pasar-pasar tradisional di Jakarta mengeluhkan kebijakan HET.

Hal ini karena mereka harus membayar lebih mahal daripada HET untuk beras yang mereka dapatkan dari pedagang grosir. Akhirnya mereka tidak bisa mendapatkan keuntungan.

Kepala Bagian Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi mengatakan, ia mengkhawatirkan adanya risiko pencampuran beras berkualitas tinggi dengan beras berkualitas rendah demi menghindari kerugian.

Selain itu, ada biaya yang harus ditanggung pada pedagang eceran saat bertransaksi dengan pedagang grosir, seperti biaya transportasi dan upah tenaga kerja. Biaya tambahan ini juga tidak diperhitungkan pemerintah saat menetapkan HET beras.

“Intervensi pasar yang dilakukan pemerintah melalui HET sudah mendistorsi permintaan dan penawaran di pasar. Kalau hal ini dibiarkan, kami mengkhawatirkan akan terjadi kelangkaan beras,” ujar Hizkia.

Sejak bulan Mei 2009 hingga Mei 2017, harga beras di Indonesia memiliki trayektori yang berbeda dibandingkan dengan harga beras di pasar internasional.

Pada Mei 2009, keduanya masih sebanding di angka Rp 6.641 per kilogram (Indonesia) dan Rp 5.546,77 per kilogram (internasional). Sementara pada bulan yang sama di 2017, harga beras di Indonesia berada di angka Rp 13.125 dan harga beras impor berada di angka Rp 5.609,28.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya