Liputan6.com, Jambi - Tahun segera berganti, 2018 menjadi tahun politik di Indonesia. Sejumlah daerah, termasuk Provinsi Jambi, akan menggelar pesta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 2018.
Tercatat ada tiga daerah di Jambi yang bersiap menggelar pilkada. Ketiga daerah itu, yakni Kota Jambi, Kabupaten Merangin, dan Kabupaten Kerinci.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, Rudiansyah, momen pilkada rawan akan politik transaksional. Salah satunya adalah praktik jual beli izin lahan.
Baca Juga
Advertisement
"Habis pilkada, ada saja izin pembukaan lahan baru untuk industri maupun perkebunan. Ini seolah menjadi bagian dari hasil perjanjian sebelum pilkada antara calon kepala daerah dengan pihak tertentu," ujar Rusdiansyah di Jambi, Rabu, 27 Desember 2017.
Salah satu dari tiga daerah di Jambi dinilai rawan akan praktik jual beli izin, yakni Kabupaten Merangin. Mengingat daerah ini memiliki kawasan yang luas. Di samping itu juga karena berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
"Di Merangin memiliki sejarah panjang akan masalah lahan," ucapnya.
Untuk itu, Rudiansyah mengingatkan agar warga benar-benar memilih kepala daerah yang berkomitmen tinggi dalam memajukan daerah, khususnya dalam menyelesaikan masalah lahan atau agraria. Bukan malah menjadikan izin lahan sebagai bagian dari politik transaksional.
Kabupaten Merangin tercatat menjadi salah satu daerah di Jambi yang banyak mengalami kerusakan hutan di Jambi. Baik itu karena alih fungsi lahan, perambahan, hingga aktivitas penambangan liar.
Berdasarkan data Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi, total kerusakan hutan di Merangin mencapai 9.966 hektare, atau kedua terbanyak setelah Kabupaten Sarolangun yang mencapai 13.762 hektare.
Catatan kerusakan lahan itu diambil dari citra satelit lansat 8 di Jambi pada 2017.
Picu Konflik Sosial
Salah satu kasus yang paling menonjol di Kabupaten Merangin adalah kasus dugaan perambahan hutan oleh sekelompok masyarakat di kawasan hutan TNKS yang berada di Desa Renah Alai, Kecamatan Jangkat.
Kasus ini bahkan sampai berujung ke konflik sosial antarwarga. Warga Desa Renah Alai menganggap banyak pendatang yang datang ke desa tersebut karena tergiur menggarap lahan yang sebenarnya masuk kawasan hutan TNKS. Warga menduga banyak orang yang bermain jual beli kawasan TNKS.
Peristiwa ini sebenarnya sudah berlangsung menahun. Banyaknya pendatang dinilai amat rawan memasuki tahun politik, mengingat kelompok masyarakat yang datang bertujuan mengadu nasib untuk mencari lahan baru. Sejumlah warga yang datang di daerah ini membuka kawasan perkebunan kopi.
Keributan beberapa kali terjadi. Terakhir pada pertengahan 2017 lalu, yakni peristiwa pembakaran pondok milik warga pendatang yang kemudian dibalas dengan aksi pemblokiran jalan. Kondisi sempat memanas sebelum akhirnya bisa diredakan oleh aparat Polres Merangin.
Untuk menyelesaikan konflik tersebut, pada Senin, 4 Desember 2017, Pemkab Merangin bersama instansi terkait membentuk tim terpadu. Tugas tim terpadu adalah menyelesaikan masalah konflik lahan itu sebagaimana mandat dari hasil diskusi bersama seluruh elemen terkait, termasuk masyarakat dua desa yang berkonflik.
"Salah satunya adalah mencegah gangguan keamanan terkait dengan tahun politik," ujar Kapolres Merangin, AKBP Aman Guntoro, 4 Desember 2017.
Selain itu, tim terpadu juga akan menelusuri keberadaan atau asal-usul masyarakat yang datang ke kawasan Sungai Tebal. Jika terbukti keberadaannya bertentangan dengan prosedur, bisa ditindak hukum.
Tim juga mendorong agar pejabat TNKS yang posisinya di bawah Kementerian Kehutanan untuk melaksanakan peran dan fungsinya menjaga serta melindungi kawasan hutan TNKS.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement