RI Ingin Hak Partisipasi Rio Tinto Dikonversi Jadi Saham Freeport

Perusahaan tambang Australia Rio Tinto bekerja sama dengan Freeport McMoran dalam pengelolaan tambang Grasberg, Papua.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 27 Des 2017, 16:30 WIB
5 Kejadian Tragis yang Dialami Karyawan PT Freeport Indonesia

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mencari cara untuk bisa memiliki 41,64 persen saham PT Freeport Indonesia untuk tergenapi menjadi 51 persen.

Salah satunya kemungkinan memiliki 40 persen hak partisipasi perusahaan tambang Australia Rio Tinto, yang bekerja sama dengan Freeport McMoran dalam pengelolaan tambang Grasberg Papua.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot mengatakan, pemerintah ingin hak partisipasi tersebut dikonversi menjadi saham Freeport Indonesia. Pemerintah justru ingin bisa diakuisisi pihak nasional untuk menggenapi kepemilikan saham nasional sebesar 51 persen.

‎‎"Kan, tujuan utama pemerintah apa? Memiliki saham 51 persen, Kalau itu tercapai 51 persen, asal sahamnya dari mana ya tetap divestasi," kata Bambang, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (27/12/2017).

Menurut Bambang, untuk mengkonversi hak partisipasi Rio Tinto menjadi saham Freeport Indonesia, perlu persetujuan berbagai pihak. ‎Jika sudah ada kesepakatan selanjutnya akan dibuat perjanjian. "Betul. Ya kalau kesepakatan para pihak setuju kenapa tidak," ujar dia.

Untuk diketahui, kerja sama Freeport McMoran dengan Rio Tinto ‎dimulai 1995 untuk mengelola tambang Grasberg di Papua. Rio Tinto memiliki hak 40 persen atas hasil produksi yang telah mencapai level tertentu. Namun setelah 2021, Rio Tinto mendapat bagian 40 persen atas produksi tambang Grasberg.

Untuk proses negosiasi pelepasan saham (divestasi) Freeport sebesar ‎sebesar 41,64 persen, pemerintah dan Freport Mc Moran masih berunding.

"Freeport masih terus berunding. Kita maunya bisa menyelesaikan secara cepat. Yang belum selesai sampai sekarang adalah proses divestasi, yang dalam hal ini diwakili oleh Menkeu dan Menteri BUMN," tutur Bambang.

Sebelumnya, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, untuk memiliki saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen, maka hak partisipasi perusahaan lain yang telah bekerja sama dengan Freeport juga menjadi milik nasional. Dalam hal ini adalah hak partisipasi Rio Tinto sebesar 40 persen.

"Untuk mencapai 51 persen, 40 persen participating interest Rio Tinto itu akan diakuisisi oleh BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah Indonesia, bersama-sama dengan BUMD dan suku-suku besar yang terkait dengan operasi Freeport Indonesia," kata Jonan.

Dia melanjutkan, selain mencaplok hak partisipasi Rio Tinto, saham Freeport Indonesia sebesar 9 persen yang dibeli Freeport McMoran dari PT Indocopper ‎juga akan diakuisisi pihak nasional.

"Selanjutnya, kepemilikan saham FCX (Freeport McMoran) di PT Indocopper Investama sebesar 9 persen, juga akan dibeli oleh pemerintah Indonesia, sehingga totalnya kurang lebih akan mencapai 51 persen," ungkap Jonan.‎


Sri Mulyani Ungkap Kemajuan Negosiasi dengan Freeport

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan bahwa proses negosiasi antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia terus berjalan. Ada empat pokok utama negosiasi yang tidak bisa dilepas satu sama lain.

Sri Mulyani menjelaskan, pokok pertama adalah masalah pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Pemerintah meminta kepada Freeport untuk mengajukan skema tahapan pembangunan (timeline) dan menepati skema tersebut.

Pokok kedua adalah masalah divestasi 51 persen yang harus dicapai pada waktu tertentu. “Ini soal bagaimana prosesnya, bagaimana valuasinya, bagaimana tata kelolanya pada proses sekarang ini yang kita masih memegang di bawah 10 persen sampai kita mencapai 51 persen,” jelas dia di Jakarta, Senin (20/12/2017).

Sayangnya, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini tidak bisa merinci proses divestasi tersebut. “Non-disclosure, itu tidak bisa kami sampaikan saat proses sedang berjalan. Itu satu bentuk etika kita menghormati entitas-entitas di dalam maupun luar negeri,” lanjut dia.

Pokok ketiga adalah mengenai kepastian investasi dan pokok keempat adalah rezim penerimaan negara.

“Sesuai dengan mandat undang-undang, kita harus mengusahakan bahwa dengan adanya IUPK ini, maka penerimaan negara lebih besar dari pada saat Kontrak Karya,” kata dia. ‎

Untuk diketahui, perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK merupakan syarat bagi perusahaan berstatus KK untuk mendapatkan izin ekspor.

Hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang tatacara pelaksanaan pertambangan mineral dan batubara, serta turunannya Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2017.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya