Liputan6.com, Beijing - Sepanjang November 2017, pemerintah China dilaporkan sama sekali tak melakukan ekspor produk minyak ke Korea Utara. Pada bulan yang sama, Tiongkok juga mengklaim telah menghentikan impor komoditas mineral dari Pyongyang.
Data dari General Administration of Customs (Bea Cukai) China per November mengklaim, kuantitas ekspor berbagai produk minyak China ke Korea Utara berada di angka nol. Demikian seperti dilansir CNBC, Rabu (27/12/2017).
Advertisement
Berbagai produk minyak itu meliputi bensin, bahan bakar jet, diesel, dan pelumas.
Terkhusus untuk bensin dan diesel, data yang sama menunjukkan bahwa kuantitas ekspor kedua produk itu pada Oktober turut berada di angka nol -- menghasilkan simpulan bahwa Tiongkok telah dua bulan berturut-turut menghentikan pasokan beberapa komoditas minyaknya ke Korut.
Sementara itu, data serupa turut menunjukkan bahwa kuantitas impor China dari Korea Utara untuk beragam produk tambang mineral, seperti bijih besi, batu bara, dan timbal berada di angka nihil.
Ketika dimintai keterangan untuk merespons data ekspor-impor tersebut, pihak Kementerian Luar Negeri China mengaku tak tahu-menahu. Namun, Beijing mengaku mematuhi segala ketentuan internasional yang mengatur tentang pembatasan relasi ekonomi dengan Korut.
"(Kendati demikian), China secara konsisten terus mematuhi sanksi dari Dewan Keamanan PBB terkait isu Korea Utara. Kami pun telah menetapkan berbagai mekanisme serta metode (untuk mematuhi sanksi tersebut)," kata Juru Bicara Kemlu China, Hua Chunying.
Sejak Juni, perusahaan petroleum pemerintah China (CNPC) mengklaim telah menghentikan penjualan bensin dan solar ke Korea Utara. Alasannya bukan karena sanksi, tapi takut merugi -- khawatir jika Korut tak membayar minyak yang disalur oleh CNPC.
Namun, saat ini masih tak diketahui apakah China masih menjual minyak mentahnya ke Pyongyang. Sebab, untuk produk itu, Beijing masih belum membeberkan data transaksi ekspor secara terbuka.
Akan tetapi, seperti dikutip dari CNBC, sumber anonim pegiat industri migas China mengatakan bahwa Tiongkok masih memasok sekitar 520.000 ton atau 3,8 juta barel minyak mentah (senilai US$ 200 juta) per tahun kepada Korea Utara.
Selain China, Rusia juga menjadi salah satu negara yang diduga kuat mengekspor minyak ke Korea Utara -- di tengah derasnya sanksi dari komunitas internasional.
Seorang analis, yang dimintai tanggapan terkait nihilnya angka ekspor-impor antara China - Korut pada sejumlah komoditas, berpendapat bahwa fenomena tersebut lazim.
"Dinamika tersebut merupakan sebuah hal yang wajar," kata pakar Korea Utara, Cai Jan, dari Universitas Shanghai, China.
"Apalagi, pada kurun waktu yang sama, sanksi yang dijatuhkan dari berbagai komunitas internasional terhadap Korut terbilang cukup deras," lanjut sang pakar Korea Utara.
PBB Jatuhkan Sanksi Baru untuk Korea Utara
Laporan tentang nihilnya angka ekspor-impor antara China - Korut pada sejumlah komoditas minyak dan mineral itu muncul di tengah sanksi ekonomi teranyar yang dijatuhkan PBB terhadap Korea Utara pada beberapa hari lalu.
Dewan Keamanan PBB memberlakukan sanksi baru pada 23 Desember 2017. Sanksi itu ditujukan sebagai respons atas uji coba rudal balistik yang dilakukan oleh rezim Kim Jong-un pada 28 November lalu.
Mitra dagang utama Korea Utara, China dan Rusia, menyetujui resolusi yang disusun AS tersebut.
Lebih detail, resolusi itu ditujukan untuk memuluskan solusi diplomatik demi mengatasi masalah Korea Utara.
Sanksi terbaru yang dikeluarkan oleh DK PBB berdasarkan resolusi AS di antaranya:
- Pengiriman produk bahan bakar akan dibatasi 500.000 barel per tahun, dan minyak mentah 4 juta barel per tahun
- Seluruh warga Korea Utara yang bekerja di luar negeri harus kembali ke tempat asalnya dalam waktu 24 bulan setelah sanksi dikeluarkan, di mana hal itu akan membatasi sumber vital mata uang asing
- Larangan ekspor barang-barang Korea Utara, seperti mesin dan peralatan listrik.
Sejauh ini, Korea Utara sudah dikenai sanksi hukum dari AS, PBB, dan Uni Eropa.
Bulan lalu, AS mengumumkan sanksi baru terhadap Korea Utara yang menurutnya dirancang untuk membatasi pendanaan program rudal nuklir dan balistiknya.
Langkah tersebut menargetkan operasi pelayaran Korea Utara dan perusahaan China yang melakukan perdagangan dengan Pyongyang.
PBB juga menyetujui sanksi baru setelah uji coba nuklir Korea Utara pada 3 September.
Langkah-langkah ini membatasi impor minyak dan melarang ekspor tekstil -- salah satu langkah guna melemahkan pasokan bahan bakar dan pendapatan Korea Utara untuk program senjatanya.
Advertisement
Sanksi yang Telah Lalu
AS telah menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara selama lebih dari satu dekade tanpa membuahkan hasil yang cukup signifikan.
Korea Utara sendiri mengatakan bahwa sanksi-sanksi tersebut justru akan memicu mereka untuk semakin giat mengembangkan program serta menguji nuklir dan rudal balistiknya.
Seperti dikutip dari BBC, berikut beberapa contoh sanksi AS terhadap Korea Utara:
Baca Juga
- Pada 30 November 2016, PBB menjatuhkan sanksi pada perdagangan batu bara Korea Utara dengan China hingga mengurangi ekspor sekitar 60 persen. Ekspor tembaga, nikel, perak, seng, dan penjualan patung juga dilarang.
- Sebagai bentuk respons, pada 14 Mei 2017, Korea Utara justru melakukan tes yang mereka klaim sebagai "roket balistik terbaru yang mampu membawa hulu ledak nuklir besar".
- Kemudian pada 2 Juni 2017, PBB memberlakukan larangan bepergian dan pembekuan aset pada empat entitas dan 14 pejabat -- termasuk salah satunya kepala operasi spionase -- Korea Utara di luar negeri.
- Sebulan kemudian, tepat pada 4 Juli 2017, Korea Utara mengklaim berhasil melakukan tes rudal balistik antarbenua (ICBM) mereka untuk pertama kalinya.
- Sedangkan pada 6 Agustus 2017, PBB melarang ekspor batu bara, bijih, dan bahan mentah lainnya ke Korea Utara dan membatasi investasi di negara tersebut. Pembatasan itu menekan sekitar US$ 1 miliar -- atau sekitar sepertiga dari total pendapatan ekonomi ekspornya.
- Namun, pada 3 September 2017, Korea Utara mengatakan telah menguji bom hidrogen yang bisa dibuat miniatur dan dimuat pada rudal jarak jauh.