Korupsi dan Runtuhnya Kejayaan VOC di Nusantara

Setelah hampir dua abad lamanya mengeruk kekayaan alam Indonesia, pada 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut.

oleh Sunariyah diperbarui 31 Des 2017, 10:06 WIB
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menjadi perusahaan paling berharga sepanjang masa mengalahkan 20 perusahaan modern. (Doc: The Motley Fool, Barry Ritholtz, Sheridan Titman)

Liputan6.com, Jakarta - Sengitnya persaingan dagang di dalam negeri dan juga beratnya upaya menghadapi kongsi dagang negara-negara lain seperti Spanyol dan Portugis, membuat pemerintah dan perusahaan di Belanda berpikir keras. Mereka pun kemudian mencetuskan ide untuk membuat perusahaan atau badan dagang untuk keluar dari kemelut tersebut.

Enam perusahaan dagang di Belanda yakni Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuyzen, akhirnya menyatakan sepakat bersatu membentuk Verenigde Oostindie Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda, pada 20 Maret 1602.

Guna memuluskan kerja VOC dan bisa meraup untung sebesar-besarnya demi tercapainya Gold dan Glory (kekayaan dan kejayaan) untuk Kerajaan Belanda, pemerintah Negeri Kincir Angin pun memberikan sejumlah keistimewaan untuk VOC. Sehingga dalam perjalanannya, badan dagang ini menjadi perpanjangan tangan Kerajaan Belanda di wilayah Nusantara.

Deretan hak istimewa yang dimiliki VOC, seperti yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) pada 20 Maret 1602, yakni hak monopoli berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens, menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri, membentuk angkatan perang dan mempersenjatainya.

VOC juga berhak menyatakan perang dan mengikat perjanjian dengan raja-raja, mengangkat hakim-hakim, merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Negeri Belanda, memerintah daerah-daerah tersebut, mengeluarkan mata-uang sendiri, memungut pajak, dan membangun benteng-benteng.

Dilansir dari historia.id, yang mengutip sejarawan Universitas Leiden Femme Simon Gaastra, dalam hak Oktrooi itu juga disebutkan, "bahwa tidak satu pihak pun selain VOC yang diperbolehkan mengirimkan kapal-kapal dari negeri Belanda ke daerah seberang timur Tanjung Harapan dan di sebelah barat Selat Magalan."

CR Boxer dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799, dikutip dari historia.id, menulis bahwa VOC dipimpin oleh dewan pengelola atau majelis para pengurus yang berjumlah 17 utusan dari 6 kamar dagang yang sudah dilebur dalam VOC. Tujuhbelas pemimpin itu dikenal dengan sebutan Heeren Zeventien atau 17 tuan.

 


Menduduki Banda Neira

Pulau Banda Neira era VOC (Wikipedia)

Karena dipimpin 17 utusan, kepemilikan VOC pun dibagi berdasarkan saham. Sistem ini membuat VOC dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia dan menjadi perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.

Di wilayah Nusantara, Pemerintah Belanda membangun markas VOC di sejumlah tempat. Untuk Pulau Jawa, markas VOC dibangun di Batavia (sekarang Jakarta). Untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah yang merupakan hasil bumi kepulauan Nusantara bagian timur, VOC membangun markas di Maluku. Pada 1603, VOC mendapat izin mendirikan kantor perwakilan di Banten.

Setelah berjalan selama hampir 9 tahun, pemerintah Belanda mengangkat Pieter Both sebagai Gubernur Jenderal VOC pertama. Dalam kepemimpinannya (1610-1614), Both memilih Jayakarta sebagai basis administrasi VOC.

Adapun untuk memimpin VOC di Ambon, Belanda mengangkat Frederik de Houtman sebagai Gubernur VOC pada 1605. Houtman memimpin wilayah itu sampai 1611. Belakangan Houtman diangkat menjadi Gubernur untuk Maluku pada 1621 hingga 1623.

Banyaknya hak istimewa yang dimiliki VOC membuat badan dagang ini seperti negara dalam negara. Hak-hak istimewa ini pula yang membuat VOC menjadi badan yang sangat berkuasa di Nusantara. Mereka juga menjadi sangat kejam.

Demi menguasai daerah penghasil rempah-rempah, Heeren Zeventien atau 17 tuan VOC memerintahkan Laksamana Pieterszoon Verhoeven untuk menduduki dan menguasai Banda Neira, Maluku, yang merupakan penghasil pala (Myristica Fragrans) dan fuli (bunga pala yang dikeringkan).

Untuk mencapai misi ini, sang Laksamana diperbolehkan menggunakan cara kekerasan. Pada 1619, Gubernur Jenderal VOC Pieterszoon melancarkan aksi kekerasan untuk memperkokoh kekuasaannya, dan menjadikan Batavia sebagai tempat bertemunya kapal-kapal dagang VOC.

 


Dinyatakan Bangkrut

Buah pala mengharuskan Belanda menukar Manhattan dengan pulau Run di Banda Neira Maluku tahun 1667. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Selama pendudukan VOC ini, terjadi banyak pemerasan, penipuan, perampokan, kerja paksa, dan peperangan di Nusantara. Juga terjadi perbudakan. VOC disebut terlibat dalam perbudakan. Mereka memperjualbelikan budak, dan mengirimnya ke berbagai tempat, termasuk ke Negeri Belanda.

Tak heran, jika di masa pendudukan VOC ini banyak lahir pejuang-pejuang di Nusantara untuk melawan mereka. Di antaranya Raja Gowa, Sultan Hasanuddin, yang menolak tunduk di bawah VOC. 

Saat itu, masyarakat Nusantara umumnya menyebut VOC dengan nama Kompeni atau Kumpeni.

Setelah 197 tahun atau hampir dua abad lamanya mengeruk kekayaan alam Indonesia, pada 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut dan dibubarkan.

Disebutkan, kejayaan VOC runtuh akibat merajalelanya korupsi di badan dagang itu, sehingga nama VOC pun diplesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie (Runtuh Lantaran Korupsi).

Selain dipicu oleh korupsi, sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana mengatakan, runtuhnya VOC antara lain dipicu oleh campur tangan mereka dalam politik kerajaan-kerajaan di Nusantara. Campur tangan ini membuat mereka terlibat dalam banyak peperangan melawan kerajaan-kerajaan di Nusantara.

 


Utang 136,7 Juta Gulden

Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menjadi perusahaan paling berharga sepanjang masa mengalahkan 20 perusahaan modern. (Doc: The Motley Fool, Barry Ritholtz, Sheridan Titman)

Selain itu, mereka juga harus berperang melawan saingannya, yakni Portugis, Spanyol, dan Inggris. Peperangan demi peperangan itu membuat VOC harus menguras kocek mereka untuk membiayai perang dan ekspedisi militer.

"Biaya perang dan ekspedisi militer ke berbagai wilayah ini sangat besar, bahkan lebih besar dari pemasukan VOC sebagai organisasi dagang," kata Margana seperti dikutip dari historia.id. Menurut Margana, campur tangan ini membuat VOC telah menandatangani seribu perjanjian selama berkuasa di Nusantara.

Faktor lain yang disebut sebagai penyebab bangkrutnya VOC yakni banyaknya gaji yang harus dibayar untuk pegawainya, adanya pembayaran dividen (keuntungan) bagi pemegang saham yang dinilai ikut memberatkan VOC, bertambahnya saingan dagang di Asia yakni Inggris dan Prancis, merosotnya moral di kalangan para penguasa akibat sistem monopoli perdagangan, dan perubahan politik di Belanda yang menganjurkan perdagangan bebas.

Saat dibubarkan, VOC memiliki utang 136,7 juta gulden. Kendati demikian, mereka juga memiliki sejumlah asset seperti kantor dagang, gudang, benteng, kapal serta daerah kekuasaan di Indonesia. Seluruh utang dan aset-aset ini diambil alih oleh pemerintahan Belanda. Karena diambil alih, pada 1800 Kerajaan Belanda mendirikan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Nusantara. Pemerintah kolonial ini bertahan sampai 1942, setelah Jepang masuk ke Indonesia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya