Liputan6.com, Christchurch - Musikus muda asal Selandia Baru, Lorde, baru-baru ini membuat geger dengan keputusannya untuk membatalkan konsernya di Tel Aviv. Merespons hal itu, Duta Besar Israel di Negeri Kiwi mengundang penyanyi yang hits dengan lagu "Royals" itu untuk bertemu pribadi dengannya. Undangan itu merespons pembatalan konser Lorde di Tel Aviv.
Pada Hari Natal, Lorde membatalkan konser di Israel yang sejatinya berlangsung pada Juni mendatang setelah dikritik para aktivis dari gerakan Boycott, Divestment, Sanctions (BDS).
Advertisement
Dikutip dari The Guardian, pada Kamis (28/12/2017), keputusan Lorde membatalkan konser di Tel Aviv setelah sebuah surat terbuka datang dari penggemarnya yang menyebut konsernya adalah bentuk dukungan Israel mengokupasi Palestina.
Duta Besar Israel untuk Selandia Baru Itzhak Gerberg pada Selasa malam menyampaikan undangan ke musikus berusia 21 tahun itu di media sosial. Dia meminta penjelasan Lorde terkait pembatalan dan memohon untuk tetap melanjutkan konsernya.
Namun, dalam sebuah pernyataan lanjutan pada Rabu, Dubes Israel itu mengatakan bahwa musikus tersebut telah "menyerah" kepada pendukung kelompok fanatik kecil yang menyebarkan kebencian dan permusuhan.
"Lorde juga menyebut bahwa dia telah mengecewakan penggemarnya di Israel."
"Padahal, konser Lorde di Israel bisa menyebarkan pesan bahwa solusi berasal dari keterlibatan konstruktif yang mengarah pada kompromi dan kerja sama," kata Gerberg.
"Musik harus bersatu tidak terbagi dan penampilan Anda di Israel bisa memberi kontribusi pada semangat harapan dan perdamaian di Timur Tengah," ucap Dubes Israel lagi.
Sebelumnya, Dewan Yahudi Selandia Baru mengatakan bahwa dengan tekanan untuk membatalkan konser, Lorde telah membuat sebuah pernyataan politik.
Juru bicara Lorde, Juliet Moses mengatakan penyanyi tersebut akan tampil di Rusia dalam tur Melodrama-nya dan bahwa meskipun ada pelanggaran hak asasi manusia di negara tersebut, tidak ada yang meminta dia untuk membatalkan pertunjukan tersebut.
Federasi Zionis Selandia Baru juga mengatakan bahwa mereka kecewa Lorde telah mendapat tekanan dari mereka yang ingin melihat penghancuran Israel.
Klaim AS Yerusalem Ibu kota Israel
Kekisruhan politik di Israel diawali dengan klaim sepihak Presiden AS, Donald Trump pada 6 Desember 2017 yang menyebut Yerusalem ibu kota Israel. Dia juga berencana memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke kota itu.
Selama tujuh dekade, AS bersama dengan hampir seluruh negara lainnya di dunia, menolak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sejak negara itu mendeklarasikan pendiriannya pada 1948. Sementara, menurut Trump, kebijakan penolakan tersebut membawa seluruh pihak "tidak mendekati kesepakatan damai antara Israel-Palestina".
"Akan menjadi kebodohan untuk mengasumsikan bahwa mengulang formula yang sama persis sekarang akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda atau lebih baik," ungkap Presiden ke-45 AS tersebut.
Pengakuan terhadap Yerusalem, menurut Trump, adalah "sebuah langkah terlambat untuk memajukan proses perdamaian".
Trump sebelumnya telah bersumpah akan menjadi perantara "kesepakatan akhir" antara Israel dan Palestina. Terkait hal ini, ia menegaskan bahwa dirinya tetap berkomitmen untuk melakukan hal tersebut mengingat "itu sangat penting bagi Israel dan Palestina".
Ayah lima anak itu mengatakan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel tidak seharusnya ditafsirkan bahwa AS mengambil posisi tertentu atau bagaimana kota itu akan dibagi.
"Dalam pengumuman ini, saya ingin mempertegas satu hal: keputusan ini tidak dimaksudkan, dengan cara apa pun, untuk menunjukkan penarikan diri dari komitmen kuat kami untuk memfasilitasi kesepakatan perdamaian abadi. Kami menginginkan sebuah kesepakatan yang menjadi kesepakatan baik bagi Israel maupun Palestina."
"Kami tidak mengambil posisi untuk status akhir pada isu-isu tertentu, termasuk perbatasan spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem atau resolusi perbatasan yang diperdebatkan. Itu menjadi urusan pihak-pihak yang terlibat," ujar Trump.
Sebagai gantinya, Trump menekankan dimensi politik dalam negeri atas keputusannya tersebut. Ia mengatakan bahwa dalam kampanye Pilpres 2016, ia telah berjanji untuk memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem yang berarti mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel.
"Presiden-Presiden sebelumnya telah menjadikan itu sebagai janji utama dalam kampanye mereka, tapi mereka gagal mewujudkannya. Hari ini, saya melakukannya," tutur suami dari Melania tersebut.
Meski tidak disinggung dalam pidatonya, Trump dilaporkan akan tetap menandatangani perintah suspensi per enam bulan untuk menunda kepindahan Kedubes AS ke Yerusalem. Pejabat Gedung Putih menjelaskan bahwa hal tersebut harus dilakukan mengingat butuh waktu beberapa tahun untuk "memboyong" misi diplomatik AS ke Yerusalem.
Trump menyadari pertentangan yang timbul atas keputusannya. "Jadi hari ini, kami serukan agar ketenangan, sikap menahan diri, suara-suara toleransi harus menang atas penebar kebencian".
Pengakuan Trump atas Yerusalem dinilai mengisolasi AS dalam salah satu isu diplomatik paling sensitif di dunia. Sebelumnya, wacana Trump tersebut telah menimbulkan badai kritik dari para pemimpin negara-negara Arab dan Eropa.
Advertisement