Skema Baru Pajak AS Bisa Bikin Perusahaan Internasional Merugi

dalam jangka pendek, perusahaan internasional tidak akan bisa menggunakan kredit pajak yang telah mereka simpan sebelumnya.

oleh Vina A Muliana diperbarui 30 Des 2017, 12:00 WIB
Presiden AS, Donald Trump menandatangani dokumen kebijakan untuk mengirim astronot AS kembali ke bulan dan Mars, di Ruang Roosevelt Gedung Putih, di Washington (11/12). (AP Photo/Evan Vucci)

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan skema perpajakan di Amerika Serikat (AS) digadang-gadang bisa meningkatkan performa bisnis di negara adidaya tersebut. Namun bagi banyak perusahaan internasional, perubahan kebijakan yang diambil Donald Trump ini justru bisa membuat mereka merugi miliaran dolar.

Bank-bank Eropa raksasa seperti Barclays, Credit Suisse, UBS serta perusahaan minyak Shell telah mengindikasikan bahwa kebijakan perpajakan baru ini justru akan merugikan mereka. Nilainya pun fantastis, kerugian yang ditanggung bisa mencapai US$ 3 miliar atau setara Rp 40,5 triliun.

Dalam jangka panjang, pajak perusahaan yang lebih rendah bisa memberi pengaruh positif bagi bisnis. Namun dalam jangka pendek, perusahaan-perusahaan di atas tidak akan bisa menggunakan kredit pajak yang telah mereka simpan sebelumnya.

Alih-alih menghemat, perusahaan internasional dipaksa untuk menulis nilai dari kredit pajak yang harus dibayar. Ini dikhawatirkan juga bisa terjadi pada beberapa perusahaan Amerika Seriikat.

Kebijakan ini bisa meneggerus keuntungan perusahaan ketika mereka mulai merilis penghasilan setahun penuh pada 2017.

Sebagai contoh, Credit Suisse melaporkan keuntungan sekitar 1,1 miliar franc Swiss (US$ 1,1 miliar) pada tiga kuartal pertama tahun 2017. Namun hal itu bisa gagal terwujud karena adanya skema pajak baru yang membuat mereka harus menurunkan nilainya 2,3 miliar Swiss franc.

Namun Bank asal Swiss tersebut mengatakan bahwa pihaknya akan fokus pada sisi baik yang bisa diwujudkan oleh skema pajak yang baru.

"Credit Suisse mengantisipasi bahwa reformasi pajak tersebut akan berdampak positif terhadap ekonomi AS dan tingkat aktivitas kami di AS," katanya dalam sebuah pernyataan dilansir dari CNNMoney, Sabtu (30/12/2017)

Sebagai informasi, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengesahkan undang-undang (UU) reformasi pajak pada Jumat 22 Desember 2017. Undang-undang tersebut adalah reformasi pajak terbesar sejak periode 1980-an.

Ia memangkas pajak untuk korporat dari 35% menjadi 21% dan akan mengurangi beban pajak untuk individu. Bahkan Trump memuji sejumlah perusahaan yang mengumumkan memberi karyawan bonus setelah diumumkannya RUU reformasi perpajakan.

Tax Policy Center AS memprediksi pada 2027, aturan pajak akan berubah lagi. Sehingga 53% pembayar pajak di AS harus membayar pajak lebih tinggi lagi, terutama para individu tadi.

Selain itu, pajak yang rendah berarti pemasukan negara juga berkurang. Akibatnya, diprediksi utang Paman Sam akan bertambah hingga US$ 1,5 triliun (Rp 20.250 triliun) dalam satu dekade ke depan.


Trump Rombak Sistem Pajak, Apa Untung Rugi Buat RI?

Senat Amerika Serikat (AS) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan yang diajukan Presiden Donald Trump. Salah satunya memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 35 persen menjadi 21 persen.

"Kita belum tahu reaksi negara lain, seperti apa terhadap penurunan pajak di AS," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (22/12/2017).

Dia berpendapat, reformasi sistem pajak di AS ini akan mendorong persepsi investor  ekonomi Negeri Paman Sam itu akan bergerak membaik.

"Kemudian itu namanya flight to quality (realokasi ke aset yang lebih aman). Tapi seberapa besar, kita belum bisa memprediksinya karena dampaknya menyusul kalau ekonomi mereka membaik," jelas Darmin.

Apabila perekonomian AS membaik, sambung dia, akan mengerek ekspor sejumlah negara yang mengandalkan pasar AS, termasuk Indonesia. Namun, Darmin memperkirakan bahwa akan ada potensi kaburnya dana asing (capital outflow) dari Indonesia atas kebijakan perpajakan AS.

"Dari awalnya akan ada pengaruh tersebut, tinggal masing-masing negara reaksinya apa," ujar Darmin. Jika di negara lain ramai-ramai memangkas tarif pajak badannya seperti yang dilakukan Trump, maka Darmin mengkhawatirkan adanya potensi perang tarif. "Kalau negara lain menurunkan, ya akan ada persaingan," kata dia.

Namun, saat ditanyakan mengenai kemungkinan Indonesia ikut menurunkan tarif PPh Badan dari saat ini 25 persen, sebelumnya ada wacana memangkas pajak tersebut ke angka 17 persen.

"Kita belum mau, belum mau komentarlah. Lihat saja dulu perkembangannya," ujar dia.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya