Liputan6.com, Jakarta Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) berharap, para jurnalis dapat menjalankan profesionalitasnya di tahun 2018 mendatang. Hal ini mengingat tahun tersebut sebagai tahun politik.
Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana mengatakan, tahun 2018 merupakan tahun krusial bagi eksistensi jurnalis. Jurnalis dan media memiliki peran penting dalam mengawal proses demokrasi yang tengah berlangsung.
Advertisement
Tahun ini pun diprediksi, pemberitaan akan banyak dihiasai oleh berita-berita politik dan kooptasi kepentingan, kekerasan juga dimungkinkan terjadi karena dampak dari pemberitaan dan cara kerja jurnalis di lapangan.
"Tuntutan profesionalisme serta independensi menjadi suatu keharusan," kata Yadi dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Minggu (31/12/2017).
Tahun 2018 adalah tahun politik, di mana pemberitaan akan banyak dihiasai oleh berita-berita politik dan kooptasi kepentingan, kekerasan juga dimungkinkan terjadi karena dampak dari pemberitaan dan cara kerja jurnalis di lapangan. IJTI mengajak kepada seluruh jurnalis di Tanah Air untuk mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bekerja dengan profesional. Tampilkan wajah jurnalis yang profesional, berintegritas dan memegang teguh etika. Selamat Tahun Baru 2018, mari kita songsong dengan penuh keyakinan.
Belajar dari tahun tahun politik sebelumnya, hegemoni kepentingan politik telah membuat para jurnalis bimbang di persimpangan jalan. Sehingga tidak sedikit yang terseret dalam arus keperpihakan dan kepentingan politik.
"Ini menjadi catatan ya sekaligus evaluasi mendalam bagi para jurnalis dalam menjalankan tugasnya," beber Yadi.
IJTI mencatat, selama 2017 dunia jurnalistik banyak diisi oleh catatan kelam. Wajah pers Indonesia banyak tercoreng oleh perilaku ketidakprofesionalan para jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, hal tersebut menjadi pekerjaan rumah tangga bersama yang harus diselesaikan.
"Data Dewan Pers menyebutkan, setidaknya ada 600 aduan yang terkait masalah pers," kata Yadi.
Kebebasan pers, Yadi menambahkan, merupakan sebuah anugerah yang harus dirawat bersama. Menjunjung tinggi kode etik dan profesionalisme adalah satu keharusan bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
"Itulah hakekat menjaga dan merawat kebebasan pers," jelas Yadi.
Ancaman Kekerasan Jurnalis
Selain itu, kekerasan dan intimidasi yang menimpa jurnalis juga menjadi ancaman nyata sepanjang 2017, meski terjadi penurunan dibanding tahun 2016.
"IJTI mencatat, 60 kasus kekerasan jurnalis yang terjadi di tahun 2017. Kekerasan paling banyak dialami para jurnalis televisi yakni 25 kasus, selebihnya menimpa jurnalis cetak, radio dan online," beber Yadi.
Kekerasan yang menimpa para jurnalis saat menjalankan tugasnya dilakukan oleh berbagai pihak, baik oknum aparat maupun masyarakat sipil.
Ada sejumlah faktor yang membuat kekerasan terhadap jurnalis kerap terulang, seperti; lemahnya penegakan hukum bagi pelaku kekerasan serta minimnya pemahaman akan tugas jurnalistik yang dilindungi oleh undang-undang.
Advertisement
Penegakan Hukum Tak Maksimal
Penegakan hukum yang tidak maksimal juga menjadi preseden kekerasan terhadaop jurnalis terus berulang. Salah satu contohnya, penanganan kasus kekerasan yang menimpa salah satu jurnalis televisi di Medan, Sumatera Utara. Di mana dalam sidang dengan terdakwa oknum anggota TNI AU hanya diberi hukuman 6 bulan penjara.
"Aksi kekerasan yang masih sering dialami para jurnalis serta lemahnya penegakan hukum tentu tidak bisa dibiarkan," tegas Yadi.
IJTI meminta penegakan terhadap jurnalis saat menjalankan tugas dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh.
"Dengan demikian, kekerasan terhadap jurnalis bisa diminimalkan," kata Yadi.
Ancaman lain yang dihadapi para jurnalis adalah bentuk kriminalisasi serta keberadaan pasal karet seperti yang tertuang dalam UU ITE. Pasal ini seringkali digunakan sejumlah pihak untuk menjerat para jurnalis.
Saksikan video pilihan di bawah ini: