Senja Terakhir 2017 di Gunung Lawu, Selamat Tahun Baru

Matahari terakhir di tahun 2017, menjadi sangat eksotis ketika dipotret dari jalur pendakian Cemara Kandang. Selamat tahun baru.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 01 Jan 2018, 06:00 WIB
Senja lereng Lawu menghasilkan siluet obyek, memustahilkan kamera menangkap obyek sedang menangis. (foto: Liputan6.com/ibra/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang Dalam Serat Pararaton, disebutkan ada zaman kala bendu menjelang akhir abad XV. Itu adalah masa ketika Prabu Brawijaya V berkuasa di Majapahit. Memasuki zaman kala bendu keluarga sang prabu menderita akibat pemberontakan dan perebutan kekuasaan.

Kerajaan-kerajaan kecil satu persatu lepas dari Majapahit. Maka Prabu Brawijaya V yang semakin terjepit dan menanggung kekalahan mengasingkan diri bersama abdi dalemnya, Sabda Palon dan Naya Genggong, di Gunung Lawu.

Gunung Lawu. Sebuah gunung dengan puncak triangulasi bernama Harga Dumilah di ketinggian 3265 mdpl. Banyak jalur untuk menuju ke Harga Dumilah.

Matahari terakhir di tahun 2017 di Gunung Lawu, menjadi sangat eksotis ketika dipotret dari jalur pendakian Cemara Kandang. Eksotisme matahari ini tentu mampu membawa refleksi lebih dalam mengenai akhir perjalanan manusia: kematian.

Matahari, warga setempat menyebutnya srengenge, memang memiliki tempat khusus bagi masyarakat di Gunung Lawu. Bahkan, jika melewati jalur pendakian Cemara Sewu, akan ditemukan sebuah tempat bernama Cakra Surya atau Cakra Srengenge, yakni sebuah hamparan rumput luas seperti alun-alun.

Gunung Lawu dilihat dari kejauhan dengan kepungan awan seperti kabut halimun. (foto: Liputan6.com/ibra/edhie prayitno ige)
"Srengenge itu kan sumber hidup. Setiap pagi akan terbit memberi kehidupan. Ia akan terbenam saat senja, agar semua makhluk bisa beristirahat," kata Mbok Yem, yang membuka warung di bawah Harga Dumilah, Minggu (31/12/2017).

Mbok Yem sendiri mengaku memilih bermukim di gunung Lawu, ditemani anak lelakinya. Ia jarang turun gunung. Kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan membuka warung dipenuhi anak lelakinya dan orang-orang yang biasa disuruh.

Memburu senja di lereng gunung Lawu sebenarnya tak sulit. Jalur pendakian melalui Cemara Sewu maupun Cemara Kandang sangat memungkinkan memotret perjalanan akhir matahari di sebuah hari. Hanya butuh perkiraan waktu yang tepat saja.

 

 


Banyak Gairah, Kurang Perenungan

Bulan menggantikan matahari yang terbenam di atas gunung Lawu. Menerangi namun adem. (foto: Liputan6.com/ibra/edhie prayitno ige)

Tak salah jika dalam Serat Pararaton diceritakan Prabu Brawijaya V memilih menepi dari hiruk-pikuk kekuasaan setelah tiba di lereng Lawu ini. Ia menyaksikan senja yang indah. Menyaksikan sebuah simbol kematian.

Budayawan Sudjiwo Tedjo bahkan memproklamirkan jika ia adalah seorang pencinta senja secara total. Kecintaannya pada senja, pada matahari terbenam, adalah sentilan lembut untuk mengingatkan pada kematian.

"Kenapa aku suka senja? Karena negeri ini kebanyakan pagi, kekurangan senja. Kebanyakan gairah, kurang perenungan," kata Sudjiwo Tedjo.

Ucapan Sudjiwo Tedjo ini adalah penegasan bahwa senja yang selama ini menjadi simbol kematian, sesungguhnya indah. Ya, kematian yang indah. Kematian yang tak menakutkan, bahkan dirindukan.

Dominasi warna gelap saat senja menegaskan keindahan, kematian yang indah. (foto: Liputan6.com/ibra/edhie prayitno ige)

Dari kematian yang dirindukan inilah, Prabu Brawijaya V diyakini bisa mencapai kasta manunggaling idep atau menghilang dari kehidupan. Sisa-sisa kekuasaan di Majapahit di Jawa, kemudian dihidupkan oleh Raden Patah melalui Kerajaan Demak.

Sabda Palon dan Naya Genggong yang tidak mau mengikuti jejak Brawijaya V yang mencapai tingkat tertinggi bagi seorang Brahmana, mengasingkan diri ke pantai timur Pulau Jawa dan menyeberang ke Pulau Bali. Majapahit pun berakhir.

Senja Gunung Lawu membawa perenungan akhir sebuah kerajaan besar. Juga perenungan akhir perjalanan manusia. Kematian.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya