Liputan6.com, Jakarta - Indonesia berpotensi mencatatkan pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen pada 2018. Namun, ada sejumlah tantangan baik dari internal maupun eksternal untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi.
Head of Intermediary PT Schroder Investment Management Indonesia Teddy Oetomo mengatakan, tantangan ekonomi Indonesia dari eksternal, yakni reformasi pajak yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dengan memangkas pajak perusahaan menjadi 21 persen.
Akan tetapi, Teddy menilai, risiko reformasi pajak AS tidak terlalu besar dampaknya bagi Indonesia. Lantaran dana investor asing dari AS di Indonesia tidak terlalu besar.
Baca Juga
Advertisement
"Tax reform AS miliki risiko uang dari luar AS pulang kampung karena potongan pajak. Indonesia risiko tidak besar. Kalau memang kejadian kaget-kagetan bentar orang sadari negara tetangga risikonya lebih besar, malah balik ke Indonesia," kata dia, seperti ditulis Selasa (2/1/2018).
Kedua, risiko geopolitik jadi tantangan ekonomi. Terutama berasal dari Korea Utara, Timur Tengah, dan Amerika Serikat.
"Sulit ditebak risiko geopolitik. Masalah Korea Utara. Tiba-tiba beberapa hari terakhir Yerusalem. Politik dunia pasti berimbas ke perdagangan dunia dan Indonesia," ujar Teddy.
Faktor ketiga, Arab Saudi. Teddy menuturkan, portofolio saham dari Arab Saudi kemungkinan masuk indeks saham global, yaitu indeks saham MSCI terutama indeks saham MSCI emerging market. Bila saham Arab Saudi masuk dalam jajaran indeks saham tersebut, maka akan mendorong aliran dana investor beralih ke Arab Saudi.
"Arab Saudi masuk emerging market indeks saham nambah bobot. Ada yang dikeluarin dong, kalau Indonesia berkurang. Semua orang pada sibuk bahas China masuk indeks saham MSCI. Efeknya 0,73 persen kecil sekali. Ke depan makin lama makin naik, Arab Saudi tidak dibahas. Kalau masuk dua persen risiko uang keluar jadi memang ada risiko," jelas Teddy.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tantangan Internal
Sementara itu, faktor kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve, menurut Teddy, dampaknya tidak signifikan terhadap Indonesia. Ia menilai, pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral AS perlu dilakukan untuk menjaga ekonomi tetap berjalan.
"Saya rasa efek ke ekonomi Indonesia minim. Kecuali kenaikan suku bunga (bank sentral AS) cepat itu bahaya," kata dia.
Sementara dari internal, menjaga inflasi menjadi tantangan ekonomi Indonesia pada 2018. Namun, inflasi Indonesia relatif terjaga pada 2017 sehingga jadi modal tetap stabil.
"Kita mulai dari level rendah. Kita di bawah empat kalau melihat daya beli terlalu tidak kuat sehingga ibaratnya permintaan dan kapasitas ada ruang. Permintaan naik dorong inflasi terlalu cepat," jelas dia.
Terkait 2018 masuk siklus 10 tahunan, Teddy menuturkan, Indonesia perlu waspada dan siap menghadapi siklus tersebut. Namun, saat ini makro ekonomi Indonesia tetap terjaga. Ini dilihat dari utang Indonesia rendah di dunia dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah 3 persen.
Advertisement