Aina Gamzatova, Muslimah Penantang Putin di Pilpres Rusia 2018

Dia adalah seorang pemimpin media Muslim terbesar di Rusia, penulis, dan juga aktivis. Lalu, bagaimana dengan kehidupan pribadinya?

oleh Afra Augesti diperbarui 02 Jan 2018, 14:02 WIB
Aina Gamzatova sebagai kandidat presiden Rusia di pemilu 2018. (Gamzatova's Website)

Liputan6.com, Moskow - Sebelumnya, namanya asing dalam kandidat pemilu Rusia 2018. Media lokal pun belum ada yang memberitakan mengenai sosoknya. Namun, muslimah ini masuk dalam daftar calon presiden Rusia 2018. Ia maju "menantang" Vladimir Putin yang juga mencalonkan kembali.

Aina Gamzatova, seorang muslimah berusia 46 tahun dari Dagestan, mengumumkan bahwa dia resmi terjun ke dalam pemilu Rusia pada Maret 2018 sebagai calon presiden. Lalu, siapa sebenarnya sosok Gamzatova?

Mengutip Al Jazeera, Senin (1/1/2018), Gamzatova merupakan pemimpin Islam.ru, sebuah media muslim terbesar di Rusia yang terdiri dari televisi, radio, dan gerai cetak. Gamzatova juga diketahui sering menulis buku tentang Islam dan melakukan kegiatan amal.

Gamzatova menikah dua kali. Suami pertamanya merupakan pemimpin muslim, Said Muhammad Abubakarov, yang meninggal karena dibunuh dalam sebuah ledakan mobil pada 1998. Hingga kini, pelakunya belum ditemukan.

Akan tetapi, dia secara terbuka mengecam Wahabi, istilah yang sering digunakan Gamzatova untuk menggambarkan militan yang ingin dia lumpuhkan.

Dalam buku dan beberapa pidatonya, Gamzatova menyebut wahabi sebagai kaum yang haus darah dan bermuka dua. Mereka terus-menerus mengincar tokoh-tokoh sufi di Dagestan -- dan afiliasinya -- untuk dibunuh.

Kini, ia telah menikah kembali dengan Akhmad Abdulaev, seorang Mufti Dagestan, meski Gamzatova sendiri merupakan seorang sufi.

Pencalonan Gamzatova menjadi topik hangat di kalangan komunitas muslim Rusia. Beberapa orang mengatakan bahwa dia seharusnya tidak melangkah keluar dari bayangan kelam masa lalunya. Meski demikian, banyak juga yang mendukung tekadnya.

"Dia cukup berani untuk menggunakan hak hukumnya, yang diberikan kepada setiap warga negara Rusia, mencalonkan diri sebagai presiden. Dia cukup berani untuk menjalankan sebuah kampanye pemilu yang layak," kata Aisha Anastasiya Korchagina, seorang etnis Rusia yang masuk Islam dan bekerja sebagai psikolog di Moskow.

Beberapa orang melihat kampanye Gamzatova sebagai cara untuk meningkatkan citra wanita muslim di Rusia. Terlebih, kampanye itu dianggap sebagai penarik perhatian karena Dagestan dikenal miskin, berpenduduk padat, dan multietnis.

"Bahkan jika dia kalah, orang akan tahu bahwa seorang gadis berjilbab tak hanya berperan sebagai seorang ibu atau wanita saja, tapi dia juga bisa berpendidikan, menjadi bijaksana dan dihormati," ungkap mantan juara Olimpiade tinju dan wakil menteri olahraga Dagestan, Gaidarbek Gaidarbekov, melalui akun Instagramnya.

 


Diprediksi Tidak Menang, tapi...

Perempuan Muslim Rusia (Reuters)

Gamzatova banyak menerima kritik pedas terkait pencalonannya. Banyak yang memprediksi bahwa dia tidak akan bisa merebut kursi kepresidenan dari Vladimir Putin, sekalipun 20 juta muslim Rusia memilihnya.

"Tentu saja, dia tidak akan menjadi presiden. Bukanlah hal penting untuk membicarakannya," tulis Zakir Magomedov, seorang bloger terkenal dari Dagestan.

Akan tetapi, dia mungkin akan mengantongi banyak suara di Dagestan dan Kaukasus Utara.

"Dia pasti akan mendapatkan suara mayoritas dan Putin tidak akan mendapatkan suara sebanyak 146 persen dari republik ini," tulis Magomedov, mengacu pada sebuah lelucon di kalangan Kremlin tentang persentase loyalitas Putin.

Pakar lain mengatakan bahwa pencalonan Gamzatova mendiversifikasi kumpulan calon presiden yang kebanyakan laki-laki.

"Semakin beragam kandidatnya, terutama ada wanita, semakin baik. Terlebih dia adalah muslim, kenapa tidak?" ujar pengamat Kaukasus Utara dan Direktur Pusat Analisis dan Pencegahan Konflik Ekaterina Sokirianskaia.

 


Rumah yang Terbagi

Bendera Rusia (Reuters)

Sejauh ini, pernyataan Gamzatova mengenai pencalonannya hanya sebatas deklarasi semata dan tidak bersifat substansial.

"Ada ungkapan bagus, 'Sebuah rumah yang terbagi tidak bisa bisa bertahan'," tulis Gamzatova di akun Facebook pribadinya.

"Negara kita, Rusia, adalah rumah kita, dan jika kita membaginya menjadi muslim atau Kristen, penduduk asli Kaukasus atau Rusia, pemerintah negara kita tidak akan pernah ada," lanjutnya.

"Jangan anggap pencalonan saya hanya demi klerus atau usaha seorang muslim untuk menciptakan pesaing bagi Vladimir Putin... Ini adalah sebuah keinginan untuk mengumumkan kepada publik dan mendukung federal dengan sikap anti-Wahhabisme yang keras," imbuhnya.

Dengan lantang ia menyerukan dan ingin agar Kremlin semakin tegas dalam memberantas para pejuang yang ingin mendirikan negara sendiri di bawah hukum Islam.

Maraknya kelompok bersenjata di Rusia berasal dari awal 1990-an, ketika ratusan pejuang muslim bergabung dengan kelompok separatis di negara tetangga Chechnya.

Banyak di antara mereka merupakan orang Saudi, dan doktrin mereka, yakni menyebut orang sufi sebagai musyrik yang memuliakan "orang-orang kudus" dan tempat-tempat suci.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya