Liputan6.com, Jakarta - Baru saja mengawali tahun 2018, CEO Telegram Pavel Durov langsung dibuat pusing dengan pemblokiran akses layanannya di Iran. Layanan Telegram dianggap memicu kekerasan atas situasi di Iran yang memang sedang bergejolak.
Diketahui, sejumlah aksi demonstrasi antipemerintah hingga tindakan berujung kekerasan tengah ramai terjadi di negara tersebut. Salah satu pemicunya adalah melemahnya situasi ekonomi.
Dalam pernyataan di channel resminya, Durov mengungkap otoritas Iran memblokir akses Telegram di awal 2018 usai pihaknya menolak untuk menutup channel salah satu pemrotes Iran yang damai, seperti @sedaiemardom.
Baca Juga
Advertisement
"Kami bangga Telegram banyak digunakan oleh ribuan channel oposisi di seluruh dunia. Kami selalu mengutamakan kebebasan berbicara sebagai hak asasi manusia dan kami lebih baik diblokir di suatu negara ketimbang membatasi kebebasan bereksperasi secara damai sebagai opini alternatif," tuturnya di channel @durov, Selasa (2/1/2018).
"Soal kebebasan berbicara, Telegram sama tak terbatasnya dengan aplikasi mobile lain," tambah Durov.
Durov bercerita bahwa pada 2015 silam, Apple dan Google sempat menghubungi Telegram usai serangan di Paris, Prancis. Pihak Telegram merespon dengan menambahkan persyaratan layanan sederhana di aplikasi, antara lain tak ada panggilan untuk kekerasan, pornografi, hingga pelanggaran hak cipta pada saluran siaran publik.
Sejak saat itu, Telegram telah memblokir ratusan channel bermuatan kekerasan setiap harinya, termasuk yang dilaporkan oleh channel @isiswatch. Hal ini untuk memastikan kebijakan berlaku secara adil dan merata, terlepas dari ukuran dan afiliasi politiknya.
"Kemarin kami sempat menangguhkan channel publik @amadnews karena mengajak para pengikutnya untuk melawan polisi dengan memakai bom Molotov dan senjata api," cerita Durov.
"Lalu, adminnya menghubungi kami dan meminta maaf karena melanggar kebijakan layanan tentang kekerasan. Namun, akhirnya mereka mengumpulkan kembali pelanggan mereka sebanyak 800 ribu dalam sebuah channel yang damai. Kami menyambut hal itu," jelasnya.
Durov juga mengungkap bahwa pejabat Iran telah mengajukan tuntutan pidana kepada dirinya pada September 2017 karena dianggap membiarkan Telegram menyebarkan berita tanpa sensor dan propoganda ekstrimis. Hari ini, mereka memblokir Telegram, tak jelas apa ini permanen atau tidak.
Yang jelas, tegas Durov, baginya melakukan hal yang benar itu lebih penting dibandingkan menghindari musuh. "Kami sangat beruntung karena dapat menerapkan prinsip ini secara konsisten di 2017. Kami akan terus melakukannya di 2018 ini.
Dituntut di Iran
Beberapa bulan lalu, seorang jaksa di Teheran, Iran, Abbas Jafari Dolatabadi, mengungkap bahwa CEO Telegram, Pavel Durov terjerat kasus pidana terkait penggunaan Telegram oleh teroris, para pelaku pornografi anak, dan elemen kriminal lainnya. Namun, ia tidak memberikan rincian perihal tuntutan tersebut.
"Telegram menyediakan layanan bagi para kelompok teroris seperti IS (ISIS), menciptakan platform yang sesuai untuk berbagai aktivitas kelompok lain, mempromosikan dan memfasilitasi kejahatan pornografi anak, perdagangan manusia, dan perdagangan narkotika," kata Dolatabadi, seperti dikutip dari RT, Rabu (27/9/2017).
Dolatabadi tidak memberikan rincian mengenai tuntutan tersebut, tapi katanya, kasus itu telah dirujuk ke divisi hubungan internasional Kantor Kejaksaan Teheran. Menurutnya, "hukum barat" tidak berlaku untuk kasus Telegram di Iran.
Iran hanya bisa mengadili Durov secara in absentia (tanpa dihadiri terdakwa) karena tidak tinggal di negara itu, dan sepertinya tidak akan menyambangi Iran untuk menghadiri persidangan. Durov memiliki paspor Rusia serta Sint Kitts dan Nevis, tapi publik tidak mengetahui tempat tinggalnya.
Durov sendiri telah mengetahui perihal tuntutan tersebut. Melalui akun Twitter, ia mengaku terkejut mendengar beritanya dan menilai alasan penuntutan tidak ada kaitannya dengan konten teroris dan pornografi.
Dijelaskannya, tim moderator Telegram telah memblokir lebih dari 1.000 channel, chat, dan bot terkait konten teroris atau pornografi di Iran, setiap harinya. "Saya kaget mendengarnya. Kami aktif memblokir konten teroris dan pornografi di Iran. Saya pikir alasan sebenarnya bukan itu," ungkap Durov.
Telegram sangat populer di Iran, salah satunya karena jutaan penggunanya bisa melewati blokir media sosial di sana. Selain itu, Telegram memiliki sebuah fitur yang bisa dimanfaatkan pengguna untuk mengatur pesan mereka agar "self-destruct" setelah dibaca oleh penerima. "Self-destruct" artinya pesan akan hilang di kedua perangkat (pengirim dan penerima), setelah dibaca oleh penerima.
(Cas/Ysl)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement