Liputan6.com, Jakarta - Pasar saham Indonesia mencatatkan kinerja gemilang sepanjang 2017. Tercatat pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai 19,99 persen. IHSG pun mencetak rekor tertinggi di 6.355. Sejumlah sektor saham membukukan keuntungan besar, antara lain sektor saham keuangan, industri dasar, dan konsumsi.
Lalu bagaimana prospek saham di Indonesia pada 2018? Apa saja sektor saham yang masih menarik untuk dicermati investor?
Head of Intermediary PT Schroder Investment Management Indonesia, Teddy Oetomo menuturkan, investasi di saham masih menarik pada 2018. Adanya optimisme pemulihan ekonomi global sehingga berdampak ke pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi katalis positif. Dana Moneter Internasional atau IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi sekitar 3,6 persen pada 2018.
Baca Juga
Advertisement
"Kalau misalnya setuju pandangan ekonomi tidak cuma Indonesia, tetapi dunia arahnya pertumbuhan lebih baik otomatis akan menarik di saham. Saham tergantung dari laba bersih yang didorong pertumbuhan ekonomi. Angka konsensus pertumbuhan laba bersih 13 persen," ujar Teddy saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Selasa (2/1/2018).
Oleh karena itu, Teddy menuturkan, prospek investasi saham tergantung dari kemampuan fundamental ekonomi Indonesia. Apabila pertumbuhan ekonomi positif diharapkan dapat dorong pertumbuhan kinerja emiten sekitar 13 persen pada 2018.
Meski demikian, Teddy mengingatkan soal valuasi saham di Indonesia. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), rata-rata price earning share (PER) sekitar 15,2 kali pada 2017.
"Saat ini kita berdasarkan PE rasio harga dibandingkan laba bersih 15,8-16. Rasanya untuk berpikir valuasi multiple akan sulit. Kenaikan harga saham ditopang valuasi multiple dan laba bersihnya naik. Laba bersih tahun depan naik 20 (persen) sulit," ujar Teddy.
Namun, Teddy menuturkan, valuasi saham Indonesia tidak terlalu mahal dan murah ketimbang negara memiliki karakter ekonomi mirip Indonesia, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Untuk sektor saham, Teddy memilih sejumlah sektor saham antara lain sektor konsumsi, infrastruktur, bank, dan komoditas. Akan tetapi, pertumbuhan sektor saham itu juga melihat dari daya beli masyarakat.
"Sektor konsumsi menarik, jangan hanya terlalu patok ke ritel. Sektor konsumsi juga bisa dari produsen. Kemudian perusahaan yang terafiliasi dengan infrastruktur secara proyek mungkin menarik. Bank juga dengan membaiknya kredit macet. Lumayan tersebar cukup luas," kata Teddy.
Di sektor saham konstruksi, Teddy memprediksi kemungkinan kinerjanya akan membaik ditopang proyek-proyek yang berjalan. Namun ia mengingatkan untuk mewaspadai level utang lantaran sektor ini juga intensif memerlukan modal untuk kerjakan proyek.
"Bobot utang diwaspadai. Prefer level utang tidak terlalu tinggi. Karena utang terlalu tinggi risiko makin besar. Paling baik cari perusahaan konstruksi dengan utang tidak terlalu tinggi," jelas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Menakar Prospek Ekonomi RI pada 2018
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih positif pada 2018. Momen pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pergerakan harga komoditas akan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Head of Intermediary PT Schroder Investment Management Indonesia Teddy Oetomo menuturkan, konsumsi dan daya beli masyarakat Indonesia akan membaik satu tahun sebelum pemilihan umum (pemilu).
Hal tersebut ditopang sejumlah faktor, baik dari internal maupun eksternal. Dari internal, momen pemilihan kepala daerah (pilkada) di 17 provinsi pada 2018 diharapkan dapat mendongkrak daya beli masyarakat.
"Ada dana kampanye. Tahun 2018 terdapat pilkada di 17 provinsi jauh lebih besar dari 2017. Ditambah dari 17 provinsi itu ada tiga provinsi besar Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur yang populasi 30-40 persen dari total masyarakat Indonesia. Adanya pilkada mendorong konsumsi rumah tangga," jelas Teddy.
Teddy menambahkan, anggaran belanja pemerintah juga mulai berjalan pada awal 2018. Ini juga dapat mendorong daya beli masyarakat. Selain itu, faktor harga komoditas terutama batu bara juga akan menopang ekonomi Indonesia.
"Ditambah lagi dana dari komoditas. Kita lihat pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia pada 2012 daya beli menurun. Dan memang ternyata ada hubungan sangat kuat antara harga batu bara dan kemampuan daya beli. Pemain batu bara langsung jalan uangnya," jelas Teddy.
Advertisement