Liputan6.com, Palu - Akhir tahun lalu, Kepala Dinas Pemberdayaan Anak Provinsi Sulawesi Tengah, Sitti Norma Mardjanu, mengungkapkan Sulteng berada di peringkat ketiga Perkawinan Anak Usia Dini terbanyak di Indonesia.
"Berdasarkan penelitian BKKBN tahun 2015, perkawinan anak di Sulteng, sudah mencapai 31,91 persen," katanya kepada Liputan6.com saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat, 22 Desember 2017.
Ia menerangkan, data Susenas 2015, rata-rata anak berusia 15-19 tahun berstatus kawin dan pernah kawin. Persentase terbesar terdapat di Kabupaten Banggai Laut sebesar 15,83 persen.
Baca Juga
Advertisement
Berikutnya, Kabupaten Banggai Kepulauan 15,73 persen, Kabupaten Sigi 13,77 persen. Lalu, Kabupaten Tojo Una-una 12,84 persen, dan Kota Palu 6,90 persen.
"Kalau data BPS (Badan Pusat Statistik) Sulteng tahun 2016, penyumbang tertinggi angka perkawinan anak usia dini di Sulawesi Tengah adalah Kabupaten Tojo Una-una sebesar 23 persen dan Parigi Montong sebesar 22 persen," ucapnya.
Ia juga mengungkapkan, anak berumur 15-19 tahun di Sulteng yang kawin dan pernah kawin jauh lebih tinggi di pedesaan sebesar 7,99 persen dibanding perkotaan yang hanya 3,09 persen.
"Kami telah mendeklarasikan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Halaman Kantor Gubernur Sulteng pada 15 Desember 2017 lalu," tuturnya.
Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak diluncurkan pertama kali oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembesi, pada 3 November 2017 di Jakarta.
Asisten Deputi Pengasuhan Hak Anak Atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan Deputi Bidang Tumbuh Kembang KPPPA, Rohika Kuniadi Sari mengatakan, berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati urutan ke-7 tertinggi di dunia. Sedangkan di ASEAN, berada di urutan 2 kasus perkawinan anak.
"Perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, serta pelanggaran terhadap hak anak, khususnya hak untuk menikmati kualitas hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk tumbuh dan berkembang sesuai usianya," tuturnya.
Bukan Hanya karena Kemiskinan
Sementara Ahmad Hilmi, Project Manager dari Yayasan Rumah Kita Bersama, mengemukakan hasil riset yang dilakukannya di Pandeglang Banten dan Madura tentang perkawinan anak usia dini.
Menurutnya, terdapat faktor-faktor selain kemiskinan yang menyebabkan fenomena tersebut. Misalnya, faktor agama dan pandangan masyarakat yang menikahkan anaknya yang masih di bawah umur untuk menghindari zina.
Keterlibatan lembaga formal maupun nonformal yang mengesahkan pernikahan anak sebagai bagian dari budaya masyarakat tertentu juga melanggengkan fenomena tersebut.
Lebih lanjut, Hilmi menjelaskan bahwa perubahan ruang hidup menyebabkan kemiskinan. Misalnya di Cisarua, masyarakat yang tadinya agraris harus berubah mata pencaharian ketika industrialisasi dan pembangunan pariwisata meningkat di daerah tersebut.
Perubahan itu tidak diikuti kesiapan masyarakatnya. Pembangunan juga tidak memperhatikan faktor sosial hingga menyebabkan masyarakat kaget ruang hidupnya berubah. Hal itu menimbulkan kemiskinan. Akibat miskin, banyak orangtua yang menikahkan anaknya agar tanggung jawabnya luruh menafkahi anak tersebut.
Ketidaksiapan anak menikah di usia yang belum matang menyebabkan banyak hal, misalnya putusnya pendidikan, mengganggu kesehatan reproduksi, perceraian di usia muda, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya.
Hal itu seakan berjalan resiprokal dan terjadi berulang-ulang. Sebagai solusi, membatasi anak dalam undang-undang pernikahan saja tidak cukup. Perlu diadakan edukasi langsung ke masyarakat dengan tradisi nikah di bawah umur untuk menyosialisasikan bahaya pernikahan usia dini.
Data BPS dan UNICEF juga mencatat indikasi perkawinan anak di Indonesia hampir terjadi di semua wilayah. Pada laporan tersebut, angka perkawinan usia anak di bawah 18 tahun mencapai 23 persen. Salah satunya terjadi di Sulawesi Tengah.
Advertisement
Jumlah Perceraian di Kota Medan Meningkat
Sementara itu, angka perceraian di Kota Medan, Sumatera Utara, pada 2017 meningkat jika dibandingkan dengan 2016. Selama 2017, sebanyak 1.827 perkara cerai dikabulkan Pengadilan Agama Medan.
Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Medan, Jumrik mengatakan, jumlah tersebut tercatat dalam periode Januari hingga November 2017. Angka itu masih bisa bertambah, sebab belum dihitung dengan Desember karena belum habis bulan.
"Perkara perceraian tahun ini meningkat sebanyak 10 hingga 20 persen. Usia perceraian yang mendominasi antara 25 hingga 45 tahun," kata Jumrik, Sabtu, 30 Desember 2017.
Disebutkan, banyak faktor yang menyebabkan pasangan nikah mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Medan. Sepanjang 2017, faktor perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi penyebab perceraian.
Faktor penyebab perceraian diikuti dengan tidak ada keharmonisan pasangan suami-istri. Salah satu pasangan tidak bertanggung jawab, dan ada juga bercerai karena kekerasan dalam rumah tangga serta disebabkan oleh faktor ekonomi.
"Dalam proses perceraian, pasangan yang mengajukan gugatan akan dinasihati terlebih dahulu oleh majelis hakim, sebelum memutuskan perkara," sebutnya.
Selanjutnya, majelis hakim menasihati untuk berdamai dan rukun kembali. Apabila tidak selesai, upaya damai dilanjut dengan mediasi. Upaya ini dilakukan di luar persidangan yang dilakukan nonhakim.
"Apabila mediasi gagal, maka persidangan pun dilanjutkan," ucap Jumrik.
Dalam satu bulan, hanya ada satu hingga dua perkara yang berhasil rujuk kembali di Pengadilan Agama Medan. Sedikitnya yang berhasil didamaikan karena para pasangan yang mengajukan gugatan cerai 99 persen ingin bercerai.
"Sangat sedikit, kebanyakan gugatan masuk karena mau cerai," kata Jumrik.
Saksikan video pilihan berikut ini: