Liputan6.com, Jakarta - Mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Nofel Hasan didakwa telah menerima SGD 104.500 atau sekitar Rp 1,045 miliar terkait kasus pengadaan satelit monitoring di Bakamla. Uang tersebut diterima Nofel dari Direktur Utama PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah.
"Terdakwa Nofel Hasan bersama-sama dengan Eko Susilo Hadi dan Bambang Udoyo melakukan perbuatan menerima hadiah yaitu menerima Pemberian hadiah berupa uang 104.500 dolar Singapura dari Fahmi Darmawansyah diserahkan melalui Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus," ujar jaksa KPK Kiki Ahmad Yani saat membacakan dakwaan Nofel Hasan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (3/1/2018).
Advertisement
Selain itu, jaksa menyebut Nofel telah menyusun dan mengajukan anggaran pengadaan satelit monitoring Bakamla pada APBNP 2016.
"Sekaligus mempersiapkan dan mengusahakan pembukaan tanda bintang pada anggaran pengadaan drone," ucap jaksa Kiki.
Dalam dakwaan dijelaskan, Nofel bersama dengan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi selaku staf khusus bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Bakamla Arie Soedwo membuat anggaran pengadaan monitoring satellite senilai Rp 402,71 miliar dan drone senilai Rp 580,468 miliar.
Ali Fahmi pada Maret 2016, datang ke kantor PT Merial Esa dan bertemu Fahmi Darmawansyah selaku dirut perusahan tersebut didampingi Muhammad Adami Okta sebagai orang kepercayaan.
Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi untuk 'main proyek' di Bakamla dan jika bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus memberikanfee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan.
Ali Fahmi lalu memberitahukan pengadaan monitoring satellite senilai Rp 400 miliar dan Ali meminta uang muka enam persen dari nilai anggaran tersebut.
Untuk pelelangan, Fahmi menggunakan PT Merial Esa. Sedangkan, untuk pengadaan monitoring satellite, Fahmi menggunakan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) yang sudah dikenalikan oleh Fahmi.
Dia lalu mempercayakan Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus untuk mengurus proses pengadaan di Bakamla tersebut.
"Namun, anggaran drone masih dibintangi, artinya anggaran itu tidak dapat digunakan sebelum syarat-syarat tertentu dipenuhi, sehingga terdakwa bekerja sama dengan Ali Fahmi atau Hardy Stefanus melakukan pengurusan ke Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan RI untuk membuka tanda bintang pada anggaran drone," sambung jaksa Amir.
Pembahasan Fee
Pada Oktober 2016, Kepala Bakamla Arie Soedewo dan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Eko Susilo Hadi membahas pembagian fee. Arie Soedwo menyampaikan jatah Bakamla sebesar 7,5 persen dari nilai pengadaan dan dua persennya diserahkan lebih dulu ke Eko.
Uang itu diserahkan pada 14 November 2016 di kantor Bakamla oleh Adami Okta kepada Eko Susilo Hadi sejumlah 10 ribu dolar AS dan 10 ribu euro dalam amplop cokelat yang juga berisi kertas catatan perincian pengeluaran uang yang akan diserahkan ke Bakamla. Eko lalu menyampaikan itu ke Nofel Hasan dan Bambang Udoyo.
Rincian uang yang akan diberikan dari jatah dua persen adalah Rp 1 miliar untuk Nofel Hasan, Rp 1 miliar untuk Bambang Udoyo, Rp 2 miliar untuk Eko Susilo Hadi, dan sisanya dipegang Adami Okta lebih dulu. Uang diminta agar disiapkan dalam dolar Singapura.
Penyerahan uang dilakukan pada 25 November 2016 sekitar pukul 10.00 WIB yang diberikan Adami Okta bersama Hardy Stefanus dengan membawa uang 104.500 dolar Singapura ke ruang kerja Nofel di kantor Bakamla.
"Muhammad Adami Okta menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa dengan disaksikan Hardy Stefanus," ungkap JPU.
Atas perbuatannya, Nofel Hasan didakwa berdasarkan pasal 12 huruf b atau pasal UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement