Liputan6.com, Davao - Secara simbolik, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi telah menyerahkan paspor kepada 300 warga keturunan Indonesia yang telah menetap selama belasan tahun di Filipina tanpa dokumen kewarganegaraan. Seserahan itu dilaksanakan di Davao, Filipina selatan pada Rabu, 3 Januari 2018.
Paspor tersebut menjadi bentuk penegasan dan peresmian status kewarganegaraan mereka sebagai WNI.
Status itu tak hanya berlaku bagi mereka yang ikut dalam seserahan simbolik saja, namun juga bagi ribuan lainnya dengan kondisi yang serupa.
Baca Juga
Advertisement
Yakni, keturunan bangsa Indonesia yang selama lintas generasi telah tinggal di kawasan Filipina selatan tanpa memiliki ketetapan status kewarganegaraan maupun dokumen kependudukan.
"Pendataan dan penegasan status bukan merupakan proses yang mudah. Dengan upaya keras akhirnya hal ini dapat kita lakukan," kata Menlu RI Retno, seperti dikutip dari keterangan tertulis Kemlu RI yang diperoleh Liputan6.com, Rabu (3/1/2017).
"Upaya panjang dan tidak kenal lelah ini menunjukkan upaya Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan maksimal bagi warga-nya yang tinggal di luar negeri", tambah Menlu RI.
2.425 Orang Sudah Ditegaskan Sebagai WNI
KJRI Davao bekerjasama dengan Pemerintah Filipina dan Komisi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) telah berhasil mendata 8.745 Warga Keturunan Indonesia atau disebut Persons of Indonesian Descent (PID) yang tersebar di delapan Propinsi di Filipina selatan. Dari jumlah tersebut, 2.425 orang sudah diberikan Surat Penegasan Kewarganegaraan Indonesia (SPKI).
"Hingga tahun ini, ada sekitar 8.745 orang keturunan Indonesia yang terdaftar menurut pendataan pemerintah RI, Filipina, dan UNHCR. Dari total itu, sekitar 5.028 orang sudah disiapkan dokumen status kewarganegaraan (document ready) mereka," kata Konsuler Jenderal RI di Davao, Berlian Napitulu saat dihubungi Liputan6.com, Senin 20 November 2017.
"Per bulan Mei 2017, dari 5.028 orang yang document ready, 2.425 orang sudah ditegaskan status kewarganegaraannya sebagai orang Indonesia (clearly Indonesians)," tambahnya.
Konjen Berlian Napitulu memastikan, KJRI Davao akan memberikan SPKI -- salah satunya berupa paspor -- kepada 2.425 yang berstatus sebagai clearly Indonesians tersebut. Ke-300 di antaranya merupakan peserta seserahan paspor secara simbolik dengan Menlu RI Retno Marsudi pada Rabu, 3 Januari 2018 di Davao, Filipina.
Sang Konjen melanjutkan, pemerintah Indonesia bersedia untuk menyediakan akomodasi bagi orang suku Sangir di Filipina selatan jika ingin kembali pulang ke Tanah Air. Kendati demikian, pemerintah RI tak akan memaksa mereka yang -- meski telah berstatus sebagai WNI -- tetap ingin tinggal di Filipina.
"Namun, ada syaratnya, mereka yang menetap tinggal di Filipina, ya silakan urus visa, paspor, dan izin tinggal. Tapi, kami tidak pernah memaksa mereka untuk pulang. Kebebasan untuk memilih ada di mereka masing-masing," paparnya.
Advertisement
Sempat Terancam Stateless
Pulau Balut dan Pulau Sarangani adalah dua pulau besar yang terletak di Provinsi Davao Occidental, Filipina selatan. Menurut perhitungan UNHCR yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan Filipina pada 2016, ada sekitar 8.745 orang yang tercatat sebagai keturunan Indonesia yang terkonsentrasi di kedua pulau itu.
Sebagian besar dari mereka yang hidup saat ini adalah generasi ketiga dan keempat keturunan Indonesia yang memiliki "nenek moyang" berasal dari gugus Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara. Demikian seperti dikutip Al Jazeera, Senin, 20 November 2017.
Salah satu kisah umum tentang pola migrasi suku Sangir ke Filipina selatan adalah ketika nenek moyang mereka yang berprofesi sebagai nelayan melihat Pulau Balut dan Pulau Sarangani. Seiring waktu, para nelayan itu membawa keluarga dan sanak saudara mereka dari Sangir ke dua pulau tersebut.
Pola migrasi itu terjadi jauh sebelum Filipina dan Indonesia mulai membangun perbatasan yang berdaulat di antara mereka. Seiring waktu, ketika legitimasi perbatasan kedua negara dicanangkan, mereka terpaksa menetap untuk menghindari proses hukum.
Akan tetapi, semua itu berujung pada kondisi mereka yang berstatus sebagai undocumented person di Filipina dan terancam tak memiliki kewarganegaraan (stateless person) pada beberapa tahun silam.
"Banyak yang bilang mereka stateless, tapi tidak otomatis juga mereka stateless. Terancam stateless memang, karena tidak ada dokumen. Tapi beberapa tahun kemudian, oleh pemerintah di sini, diberikan dokumen ACR (Alien Certificate Registration) untuk kejelasan status sementara," kata Konsuler Jenderal RI di Davao, Berlian Napitulu saat dihubungi Liputan6.com, Senin, 20 November 2017.
"Tetapi itu (ACR) bukan dokumen resmi. Sehingga mereka jadi tidak punya pekerjaan tetap, dan tidak punya penghasilan tetap, masalahnya jadi banyak. Maka, kedua negara, bekerja sama dengan UNHCR, melakukan solution effort untuk isu itu," tambahnya.
Melalui kesepakatan itu, kedua negara dibantu UNHCR akhirnya mulai bertindak untuk menyelesaikan isu tersebut.
Seperti dikutip dari Al Jazeera, proyek tersebut itu sudah berlangsung sejak 2016 lalu dan masih berlangsung hingga tahun ini.
"Target kita baru 80 persen dari total 8.745 yang tercatat resmi," kata Berlian.
Tentang keterlibatan UNHCR, Berlian mengatakan, "UNHCR itu membantu dalam kapasitasnya mereka sebagai lembaga yang punya metode dan sistem yang lebih mumpuni. Mereka juga punya banyak resources. KJRI Davao kan sedikit personelnya, bagaimana mau jangkau semua. Filipina juga sedikit dan terbatas."
"Maka kita minta bantuan UNHCR yang punya pengalaman, metode, sistem, dan sudah terbiasa melakukan itu. Mereka mengerahkan enumerator ke desa dan kampung yang dihuni oleh Sangir-Indonesia."
Meski saat ini belum semua suku Sangir di Filipina selatan dapat terjangkau, Berlian menyatakan, "Tapi kita coba usahakan untuk jangkau mereka semua. Tapi yang jelas, usai kita melakukan tindakan ini, mereka yang statusnya terancam stateless, kini sudah tak lagi."