Liputan6.com, Teheran - Kepala Garda Revolusi Iran, Mohammad Ali Jafari mengklaim, demo rusuh telah diakhiri pada Rabu 3 Januari 2018.
"Hari ini dapat dikatakan sebagai akhir dari 'Hasutan 1396'," kata Jafari kepada media Iran Fars News Agency, seperti dikutip dari CNN, Kamis 4 Januari 2018.
Advertisement
'Hasutan' adalah cara Garda Revolusi Iran menyebut demonstrasi tersebut. Sedangkan '1396' mengacu pada tahun dalam kalender penanggalan Negeri Para Mullah yang setara dengan 2018.
Jafari menambahkan, para dalang di balik aksi demonstrasi telah ditangkap. Jumlah para aktivis yang dibekuk tak pasti, ada yang menyebut 450, lainnya mengatakan hingga 700 orang.
Jafari juga mengatakan bahwa peserta demo hanya berjumlah sekitar 15.000 orang, jauh lebih kecil dari perkiraan media Barat. Sementara, Kementerian Dalam Negeri Iran menyebut, jumlah demonstran pada puncaknya mencapai 42.000 orang.
Setidaknya, ada 21 nyawa terenggut di tengah aksi protes yang terjadi hanya dalam waktu enam hari. Sebagian besar adalah massa aksi.
Korban jiwa juga jatuh dari pihak aparat. Seperti dikutip dari CNN, tiga anggota Garda Revolusi Iran ikut tewas dalam sebuah bentrokan dengan sekelompok orang di wilayah Piranshir barat.
Sementara, ABC Australia menyebut, sekelompok orang telah menembaki polisi Iran, membunuh satu dan melukai tiga lainnya di Najafabad. Namun, Kementerian Intelijen Iran tak menyebut apakah korban tewas dipastikan terkait dengan rangkaian demonstrasi.
Warga Iran pun terbelah. Demonstrasi antipemerintah dibalas aksi tandingan massa pro-rezim.
Dalam berbagai tayangan televisi pro pemerintah, TV IRIB, sejumlah kelompok massa melambai-lambaikan bendera Iran dan mengelu-elukan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Sementara, sumpah serapah dan kutukan dilayangkan pada 'musuh', kekuatan luar yang dituding melecut demo: Amerika Serikat.
Perang Kata-Kata
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump, lewat akun Twitternya memuji apa yang dilakukan para demonstran.
"Menaruh penghormatan yang besar kepada rakyat Iran yang tengah mencoba untuk mengambil alih pemerintahan mereka yang korup. Kalian akan mendapat dukungan dari Amerika Serikat pada masa yang tepat!," tulis Trump dalam akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump.
Dubes AS untuk PBB, Nikki Haley langsung membela bosnya. Ia mendesak Dewan Keamanan PBB segera menggelar sidang darurat demi merespons demonstrasi berdarah tersebut.
"Rakyat Iran tengah memperjuangkan kemerdekaan. Bangsa lain yang juga mencintai kemerdekaan harus berdiri teguh dengan agenda-agenda mereka," kata dia.
Perwakilan Tetap Iran di PBB, Gholamali Khoshroo segera merespons. "Iran mengutuk keras pernyataan Nikki Haley dan para pejabat AS lainnya dalam menanggapi demonstrasi di Iran," kata dia.
Sementara itu, pada 2 Januari 2017, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menuding para 'musuh-musuh' Iran telah memicu agitasi dan instabilitas serta dengan sengaja terlibat dalam 'perang proxy' di negaranya.
Ayatollah Ali Khamenei menyalahkan pemerintah asing karena membakar kerusuhan tersebut dengan menggunakan uang dan dinas intelijen mereka.
Donald Trump lantas mengunggah sebuah tweet balasan yang menyebut bahwa pemerintah Iran telah melakukan tindakan yang represif, brutal dan korup. Sang miliarder nyentrik juga menulis, "Waktunya untuk perubahan!"
AS Berniat Tunggangi Demo Iran?
Belakangan muncul dugaan, Donald Trump sengaja memanfaatkan momentum demonstrasi berdarah di Iran sebagai 'kartu as' untuk menghentikan penilaian sertifikasi kepatuhan Teheran terhadap 'Kesepakatan Nuklir Iran' (JCPOA).
Joint Comprehensive Plan of Action merupakan pakta kesepakatan antara Iran dan sejumlah pihak yang terdiri dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS), Jerman, dan Uni Eropa.
Menurut pakta itu, Iran sepakat terhadap sejumlah hal, salah satunya adalah pengurangan stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari negara-negara yang menandatangani kesepakatan tersebut.
Pakta itu memiliki mekanisme pengawasan rutin. Secara berkala, yakni per 90 hari, para negara anggota akan memberikan sertifikasi kepatuhan kepada Iran setelah melakukan peninjauan.
Terakhir kali, sertifikasi kepatuhan diberikan oleh Amerika Serikat kepada Iran pada Juli 2017. Sedangkan negara penandatangan lain masih tetap rutin memberikan sertifikasi penilaian terhadap Iran -- salah satunya Prancis.
Dan pada pertengahan Januari 2018 ini, Trump -- sesuai mandat JCPOA -- harus segera memberikan sertifikasi.
Namun diprediksi, dengan memanfaatkan momentum demo berdarah di Iran, Presiden AS itu tak akan memberikan sertifikasi tersebut, atau bahkan, membuat Negeri Paman Sam meninggalkan pakta itu.
Pada Oktober 2017 lalu, Trump pernah mengatakan, "Kami tidak akan terus menyusuri jalan yang justru akan lebih banyak menimbulkan kekacauan dan ancaman nyata terhadap isu nuklir Iran," ujar Trump dalam sebuah pidato di Gedung Putih.
Sementara itu, Uni Eropa menyerukan agar insiden protes di Iran tak dicampuradukkan dengan kesepakatan nuklir yang telah dihasilkan. Meski demikian, pihak Brussels melayangkan kritik keras pada rezim Teheran.
Hal senada diungkap Presiden Prancis Emmanuel Macron. "Memutuskan kesepakatan nuklir justru akan mengarah pada risiko penguatan kaum ekstremis," kata dia seperti dikutip dari Politico.
Salah satu negara sahabat Iran, Rusia meminta Washington DC untuk tidak ikut campur.
"Kami memperingatkan AS atas upayanya untuk campur tangan dalam urusan internal Republik Islam Iran," kata Wakil Menteri Luar Negeri Sergei Ryabkov kepada kantor berita Tass.
Ia menuding AS berusaha memanfaatkan momentum demo untuk mengangkat isu baru terkait kesepakatan nuklir Iran.
Advertisement
Dipicu Harga Telur yang Naik...
Jelang akhir pekan, suasana kota Teheran berangsur-angsur tenang. Namun, tak ada yang bisa menebak apakah rasa marah sebagian rakyat Iran sudah mereda. Hanya waktu yang bisa menjawab.
Demonstrasi di Iran menimbulkan efek luas. Setidaknya 21 orang tewas, ratusan lainnya ditahan. Krisis di Negeri Para Mullah juga menjelma jadi isu geopolitik terkemuka saat ini, memancing komentar Donald Trump dan tanggapan kekuatan dunia lainnya. Dan ternyata, itu berawal dari hal kecil: naiknya harga telur.
"Percaya atau tidak, semua itu diawali dari sebuah demo soal harga telur," kata Hussein Banai, pengajar di Indiana University yang mempelajari soal Iran, seperti dikutip dari situs Business Insider Singapore.
Menurut kantor berita Iran, Mehr, harga telur sempat melonjak 50 persen, 210 ribu rial per 30 butir atau dua kali lipat dari harga sebelumnya. Biaya pakan ternak yang tinggi dan wabah flu burung dituding jadi penyebab.
Kenaikan harga telur juga diikuti komoditas yang lain yang membuat kantong rakyat kebanyakan menjerit.
Maka, pada Kamis 28 Desember 2017, sekitar 100 orang berkumpul di jalanan Masyhad, kota terbesar kedua Iran, yang letaknya lebih dari 500 mil atau 804 km di timur laut Teheran. Para demonstran awalnya memprotes cara pemerintah menangani perekonomian.
Demonstrasi itu kemudian meluas ke 20 kota, bermetamorfosis menjadi gerakan perlawanan pada Presiden Iran Hassan Rouhani bahkan sang pemimpin tertinggi Ali Khamenei.
Perekonomian Iran, yang fokus pada industri minyak bumi sudah lama morat-marit, ditandai inflasi tinggi, angka pengangguran yang melonjak, dan ketidaksetaraan.
Itu mengapa, massa antipemerintah didominasi oleh para pemuda. Merujuk data resmi dari aparat yang telah menangkap sejumlah demonstran, sekitar 90 persen peserta aksi protes diketahui berusia rata-rata di bawah 25 tahun.
Saat ini di Iran, kelompok demografi usia tersebut merupakan yang paling terdampak oleh isu tingginya tingkat pengangguran dan masalah ekonomi.
Sebagian besar pemuda peserta demo juga diduga kuat berasal dari kelompok demografi pedesaan yang jauh dari kemapanan kota besar Iran. Para pemuda itu relatif miskin dan berasal dari kelas pekerja yang menuntut agar biaya hidup dapat lebih terjangkau oleh kocek minim mereka.
Seorang warga Iran yang anonim berkata kepada CNN bahwa para pemuda yang ikut berdemo juga berkeinginan untuk memiliki standar gaya hidup yang lebih sejahtera, sama seperti para muda-mudi lain yang lebih kaya.
"Lewat sosial media, pemuda miskin di wilayah desa dapat melihat kemapanan hidup pemuda lain di kota. Pemuda miskin kemudian membanding-bandingkan hidup mereka dengan pemuda yang lebih mapan. Tentu saja mereka marah," kata seorang warga Iran.
Alireza Nader, seorang analis kebijakan internasional di Rand Corp mengatakan, massa demo kali ini berbeda dengan aksi pada 2009 silam.
"Pemrotes ini berasal dari pinggiran kota Iran, dari kota-kota kecil yang belum pernah didengar orang sebelumnya," kata Nader.
"Pada tahun 2009, demonstrasi terkait dengan kaum reformis. Kali ini adalah anti-kemapanan."
Telur, yang sebelumnya tak berarti apapun secara politis di Iran, kemudian menjelma sebagai simbol kehidupan yang semakin memburuk dan ketidakpedulian pemerintah.
Belajar dari sejarah, Pemerintah Iran tak boleh meremehkan hal kecil, telur sekalipun. Sebab, gerakan protes besar yang dimulai di suatu tempat, seringkali karena alasan yang dianggap sepele.
Musim Semi Arab (Arab Spring) tahun 2011 dipicu oleh bunuh diri seorang penjual buah di Tunisia yang kiosnya digusur oleh aparat. Akibatnya bahkan melintasi batas negara.
Sejumlah rezim tumbang, termasuk di Mesir dan Libya. Dampak lainnya, perang saudara berkobar hingga kini di Suriah, kelompok ISIS pun lahir dan meneror dunia.
Jangan sampai harga sembako yang tak terjangkau di Iran memicu hal serupa.