Liputan6.com, New York - Harga minyak melemah dari level tertinggi pada 2015. Hal itu didorong produksi minyak Amerika Serikat (AS) melonjak seiring persediaan ketat.
Sebelumnya harga minyak sentuh level tinggi seiring meningkatnya ketegangan politik di Iran. Pelaku pasar menilai meningkatnya produksi minyak dan lemahnya permintaan pasar bebani pasar.
"Produksi minyak AS menguat dan lonjakan permintaan mendorong harga minyak terpangkas. Sementara permintaan produk yang naik serta cuaca dingin melanda AS meredam permintaan untuk transportasi," ujar John Kiduff, Analis Again Capital, seperti dikutip dari laman Reuters, Sabtu (6/1/2018).
Baca Juga
Advertisement
Pelaku pasar juga menilai, ketegangan politik di Iran, produsen minyak terbesar ketiga di organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) telah mendorong kenaikan harga.
"Protes di Iran menambah tenaga untuk pasar yang sudah cenderung menguat. Namun tidak ada kekerasan pada akhir pekan ini menghilangkan beberapa ketegangan di pasar," jelas Norbert Ruecker, Kepala Riset Swiss bank Julius Baer.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) turun 57 sen ke posisi US$ 61,44 per barel. Sebelumnya harga minyak sempat sentuh US$ 62,21 yang merupakan level tertinggi sejak Mei 2015.
Harga minyak Brent untuk pengiriman Maret melemah 45 sen atau 0,7 persen menjadi US$ 67,62 per barel. Sebelumnya sempat sentuh level US$ 68,27 per barel yang merupakan level tertinggi sejak Mei 2015.
"Pelaku pasar mungkin mendapatkan beberapa kekhawatiran permintaan dengan ambang batas harga minyak US$ 60 untuk WTI terutama risiko Brent. Harga minyak di atas US$ 65 bisa lama," ujar Richard Hastings, Macro Strategist Seaport Global Securities.
Ia menambahkan, musim dingin di AS juga dapat menganggu konsumsi bensin. Ini akan memberikan sedikit kelemahan.
Harga minyak sebelumnya mendapatkan dukungan dari penurunan produksi yang didorong OPEC dan Rusia yang dimulai pada Januari 2017. Hal tersebut diperkirakan berlanjut pada 2018. Harga minyak juga mendapatkan sentimen dari pertumbuhan ekonomi dan pasar keuangan yang kuat.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya
Kebijakan OPEC dan Rusia tersebut membantu mengetatkan pasar. Persediaan minyak AS turun 7,4 jua barel menjadi 424,5 juta barel. Namun, lonjakan produksi AS dapat imbangi pemotongan produksi minyak OPEC. Produksi minyak AS naik menjadi 9,78 juta barel per hari. Dalam laporan General Electric Co juga melaporkan kalau rig minyak dipangkas lima sehingga menjadi 742.
Dengan produksi Iran tidak terpengaruh oleh kerusuhan dan produksi minyak AS mungkin melewati 10 juta barel per hari menimbulkan keraguan apakah penguatan harga minyak dapat bertahan.
Lembaga keuangan Jefferies memperkirakan pasar minyak masih mendapatkan tekanan hingga 2018. Saat ini sentimennya pun tidak begitu jelas. Sedangkan Julius Baer's Ruecker memperkirakan harga minyak dapat di atas US$ 60.
Analis FXTM, Lukman Otunuga menuturkan, saat ini momentumnya kenaikan harga minyak tetap berlanjut. Namun, shale oil di AS tetap menjadi ancaman bagi kenaikan harga minyak.
Advertisement