Liputan6.com, Beijing - Dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, disebut tengah bersaing ketat membangun teknologi kecerdasan buatan (AI). Belum terlihat siapa yang menang dan siapa yang kalah, namun China disebut telah melangkah lebih jauh dalam pendistribusian teknologi tersebut ke tangan konsumen.
Dikutip dari laman cnbc.com, Senin (8/1/2018), Dewan Negara China pada Juli 2017 lalu telah menggolkan rencana pengembangan teknologi kecerdasan buatan menjadi sebuah industri senilai lebih dari Rp 2 triliun dalam beberapa tahun ke depan.
Baca Juga
Advertisement
Rencana tersebut merupakan bentuk perwujudan ambisi China untuk menjadi pusat inovasi kecerdasan buatan pada 2030 mendatang.
"China kemungkinan besar unggul di distribusi kecerdasan buatan pada konsumen akhir, sedangkan AS cenderung menjadikan teknologi ini sebagai upaya meluaskan penerapan sistem berkendara otomatis," ujar Daniel Tu, presiden dan kepala pengembangan produk Gen.Life, sebuah startup yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisa risiko dan peningkatan kapitalisasi asuransi.
Sementara itu di AS, beberapa akademisi, seperti salah satunya Presiden MIT, L. Rafael Reif, menyerukan adanya upaya kolektif dari pemerintah, berbagai perusahaan terkait, dan masyarakat untuk serius mengembangkan teknologi yang diramalkan akan mendominasi pekerjaan modern di masa depan itu.
Di AS, pengembangan kecerdasan buatan masih kerap ditunggangi ego individu, entah itu oleh institusi pendidikan atau perusahaan teknologi. Meskipun pemerintah AS sejatinya telah menaruh perhatian akan hal ini, namun belum terlihat aksi nyata untuk menjadikannya bagian dari pembangunan strategis bangsa.
"Itulah mengapa, sementara ini, penggunaan teknologi kecerdasan buatan cenderung massif di China dibandingkan di AS," ujar Tu
"Tapi, sekali lagi, ini masih terlalu dini untuk menilai secara penuh."
Kecerdasan Buatan Bisa Gantikan Peran Ahli Sejarah Manusia?
Kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) ternyata bisa diajari melakukan analisis berita.
Sejauh ini manusia mengandalkan kata tertulis untuk mencatat apa yang kita sebut dengan sejarah.
Ketika para peneliti AI menelusuri triliunan kata itu dari beberapa dekade berita melalui analisis otomatis, maka lebih banyak lagi pola dan pengertian yang terungkap.
Suatu tim dari University of Bristol di Inggris menelusuri 35 juta artikel daro 100 koran lokal Inggris dengan rentang waktu 150 tahun menggunakan analisis konten secara sederhana dan proses pembelajaran canggih oleh mesin.
Ketika mesin "membaca" 30 triliun kata, demikian dikutip dari newatlas.com, analisis sederhana memungkinkan para peneliti untuk secara mudah dan tepat mengenali peristiwan-peristiwa besar seperti peperangan dan wabah penyakit.
Sistem yang serupa memungkinkan komputer untuk secara visual belajar tentang seni dan bahkan membantah suatu topik bahasan.
Mungkin yang paling menarik adalah bahwa teknik itu juga memungkinkan para peneliti untuk menyaksikan bangkit dan jatuhnya tren-tren berbeda selama masa penelitian, dari 1800 hingga 1950.
Sebagai contoh, para peneliti bisa melacak surutnya mesin uap berbarengan dengan bangkitnya kelistrikan, yang garis sejarah keduanya saling bersilangan pada 1898.
Demikian juga mereka bisa melihat bahwa kereta api menggantikan kuda sebagai sarana angkutan populer pada 1902.
Ketika menghubungkan orang terkenal dengan suatu berita berkaitan dengan profesi yang dipilih orang tersebut, tim peneliti mengungkapkan bahwa para politisi dan penulis memiliki kesempatan tertinggi untuk menjadi terkenal semasa hidupnya.
Kesempatan bagi para ilmuwan dan ahli matematika untuk menjadi terkenal tidak cukup besar, tapi, kalau ada yuang kemudian menjadi terkenal, maka ketenarannya bertahan lebih lama.
Dapat diduga, kaum pria lebih banyak mengisi berita pada masanya dibandingkan dengan kaum wanita. Namun demikian, peningkatan perlahan penyebutan perempuan-perempuan semakin terasa sesudah 1900.
Sepertinya kemajuan itu berlanjut secara perlahan, bahkan setelah melewati periode penelitian dan para peneliti mengamati bahwa tingkat bias secara gender dalam berita masa kini tidak terlalu berbeda dengan tingkat bias pada masa sebelumnya.
Walaupun analisa perangkat susunan besar data itu bisa memberikan pengertian tambahan yang menarik tentang sejarah, para peneliti tidak bermaksud merancang kecerdasan buatan (AI) agar segera mengganti peran para ahli sejarah.
Dr. Tom Lasndall-Welfare yang memimpin bagian komputasional untuk penelitian itu, mengatakan, "Hal yang tidak bisa dibuat otomatis adalah pengertian tentang implikasi temuan-temuan itu bagi manusia."
"Yang satu itu masih tetap menjadi ranah ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial, tidak akan pernah menjadi ranah untuk mesin."
Penelitian ini telah diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Advertisement