Harga Minyak Naik, Menkeu Yakin Keuangan Pertamina Aman

Menkeu Sri Mulyani menuturkan, keuangan Pertamina tetap aman meski harga bahan bakar minyak subsidi tidak naik.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 08 Jan 2018, 20:42 WIB
Menkeu Sri Mulyani memberi sambutan saat menghadiri penandatanganan kerja sama antar bank sindikasi di Jakarta, Jumat (29/12). MOU tersebut merupakan bentuk kerja sama kredit sindikasi proyek kereta api ringan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyatakan, kenaikan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) saat ini tidak mengguncang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun neraca keuangan PT Pertamina (Persero). Keuangan Pertamina tetap aman meski harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi tidak naik.

"Kalau ICP naik dari asumsi US$ 48 dan sekarang sudah US$ 50 per barel, berarti sudah ada kenaikan US$ 2 per barel. Maka APBN kita untung Rp 2,2 triliun, di mana setiap kenaikan ICP US$ 1 per barel, untung Rp 1,1 triliun," kata dia saat Dialog Perkembangan Makro Fiskal bersama Ekonom di kantornya, Jakarta, Senin (8/1/2018).

Sri Mulyani menjelaskan, Pertamina mendapatkan keuntungan dari penurunan harga minyak dunia dan ICP di 2016. Sementara harga BBM tetap, bahkan tidak ikut mengalami penurunan. Sehingga keuntungan tersebut digunakan sebagai cadangan untuk 2017.

"Rasanya dari neraca Pertamina cukup baik. Tapi kalau mereka harus ekspansi atau belanja modal cukup banyak, di situ mungkin (Pertamina) mendapat tekanan, butuh support lebih. Tapi kalau hanya current spending (operasional sehari-hari), it's gonna be manageable," ujar dia.

Sementara untuk setiap pelemahan kurs rupiah sebesar Rp 100 per dolar AS, maka APBN akan untung Rp 2,1 triliun. "Jadi kenaikan (ICP) tidak menimbulkan persoalan sustainability atau kolaps dari neraca (keuangan) Pertamina dan APBN," tandas Sri Mulyani.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


SKK Migas Harap Kenaikan Harga Minyak Gairahkan Investasi Migas

Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menginginkan investasi pada industri hulu migas kembali bergairah, saat harga minyak dunia mulai merangkak naik.

Wakil Kepala SKK Migas Sukendar mengatakan, ketika harga minyak dunia sudah menyentuh level US$ 59 sampai US$‎ 60 per barel, maka industri hulu atau pencariaan migas sudah mendapat keuntungan yang lumayan. ‎

"J‎adi kalau misalnya US$ 60, itu seharusnya sudah provide reasonable return untuk investor," kata Sukendar, di Kantor SKK Migas Jakarta, Jumat 5 Januari 2018.

Menurut dia, seharusnya dengan kenaikan harga minyak belakangan ini, investor kembali bergairah menanamkan modalnya pada kegiatan pencarian migas. ‎

"T‎api kalau harga minyak di level US$ 60, ini menurut saya, bisa dapat (keuntungan) 20 persen lebih dikit. Jadi mestinya cukup-lah, 18, 22, 23, itu mestinya sudah atraktif bagi si perusahaan minyak," ujar Sukendar.

Dampak penurunan harga minyak masih dirasakan sampai 2017. Hal ini ditunjukan dengan tidak tercapainya target investasi hulu migas. ‎

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengungkapkan, realisasi investasi 2017 sebesar US$9,33 miliar, jauh lebih rendah dari kesepakatan dalam rencana kerja anggaran sebesar US$12,29 miliar.

Dari jumlah tersebut, investasi untuk blok eksplorasi hanya sebesar US$180 juta, sebesar US$9,15 miliar untuk blok eksploitasi.

"‎Investasi eksplorasi masih kecil kedepan perlu ditingkatkan, tapi butuh dukungan berbagai pihak,"tutup Amien.‎ ‎

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya