Liputan6.com, Riyadh - Pemerintah Arab Saudi menegaskan aturan baru yang membebankan pajak pertambahan nilai (PPN) tidak akan mempengaruhi penghasilan ekspatriat. Sebelumnya, beredar rumor di sosial media bahwa ekspatriat yang bekerja di Arab Saudi akan dikenakan pajak 10 persen dari pendapatannya.
Rumor media sosial itu juga mengklaim pihak berwenang yang terdiri dari kementerian tenaga kerja, keuangan dan Otoritas Moneter Arab Saudi sedang berkoordinasi untuk mengenakan pajak. Namun Kementerian Departemen Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Arab Saudi telah mengkonfirmasi hal itu tidaklah benar adanya.
Advertisement
"Tidak ada kebenaran dalam laporan ini. Tidak ada niat sama sekali untuk mengenakan pajak baru untuk ekspatriat," kata juru bicara kementerian Khaled Aba Al-Khail seperti dilaporkan Saudi Gazette, Selasa (9/1/2018).
"Apapun kabar yang ada di media sosial tentang pajak bagi ekspatriat tidaklah benar," lanjut dia lagi.
Khaled juga mengatakan bahwa Pemerintah Arab Saudi tidak akan menambah pembatasan lapangan pekerjaan bagi ekspatriat yang ingin bekerja di sana. Hingga kini hanya ada 19 lapangan kerja yang terbatas dan khusus untuk warga Arab Saudi.
"Tidak ada perubahan dari pembatasan lapangan kerja. Tidak akan ada rekrutmen atau penerbitan izin kerja bagi ekspatriat untuk bekerja hanya untuk lapangan kerja tertentu," pungkasnya.
Sebagai informasi, Pemerintah Arab Saudi memberlakukan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 5 persen mulai 1 Januari ini. PPN dikenakan untuk produk makanan, pakaian, barang elektronik, bensin, tagihan telepon, air dan listrik, serta pemesanan hotel.
Sudah jadi pembahasan sejak lama
Bukan hanya Arab Saudi, kebijakan baru akan pajak ini juga akan berlaku di Uni Emirat Arab (UAE). Seperti dilaporkan BBC, negara-negara Teluk telah lama menarik pekerja asing dengan janji bebas pajak. Namun, pemerintah ingin meningkatkan pendapatan seiring dengan turunnya harga minyak.
UEA memperkirakan, pendapatan PPN akan sekitar 12 miliar dirham atau sekitar US$ 3,3 miliar pada tahun pertama. Jumlah itu setara Rp 44,70 triliun (asumsi kurs Rp 13.546 per dolar Amerika Serikat).
Adapun pihaknya berencana kenakan pajak untuk bensin, solar, makanan, pakaian, dan tagihan listrik, sedangkan hotel sudah dikenakan PPN. Akan tetapi, sejumlah pengeluaran yang dikeluarkan dari pajak, yaitu perawatan medis, layanan keuangan, dan transportasi umum.
Dana moneter internasional atau IMF telah lama meminta negara-negara Teluk untuk diversifikasi sumber pendapatan selain cadangan minyak. Di Arab Saudi, lebih dari 90 persen pendapatan dari industri minyak. Adapun di UEA sekitar 80 persen. Kedua negara itu sudah mengambil sejumlah langkah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah.
Di Arab Saudi sudah kenakan pajak tembakau dan minuman ringan, serta memangkas beberapa subsidi yang ditawarkan kepada penduduk setempat. UEA pun menaikkan tarif tol serta mengenakan pajak pariwisata. Namun, tidak ada rencana memperkenalkan pajak penghasilan. Sebagian besar warga bebas pajak atas penghasilannya.
Sejumlah negara Teluk antara lain Bahrain, Kuwait, Oman, dan Qatar berkomitmen untuk mengenakan PPN meski menunda rencana hingga 2019.
Baca Juga
Advertisement