Perlemen Yunani Batasi Hukum Syariah Berusia 1 Abad, Mengapa?

Keputusan parlemen Yunani membawa perubahan besar bagi Muslim yang merupakan kelompok minoritas.

oleh Afra Augesti diperbarui 11 Jan 2018, 04:05 WIB
Pemerintah Yunani memutuskan untuk menggelar pemilihan umum presiden yang dipimpin langsung oleh rakyat, pada 25 Januari 2015.

Liputan6.com, Athena - Parlemen Yunani menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) baru untuk warga Muslim di negaranya. Mereka membatasi penggunaan hukum syariah Islam dalam mengatasi sengketa di lingkup keluarga.

Dengan demikian, Muslim Yunani kini bisa beranjak ke pengadilan negeri untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, ketimbang meminta keputusan ahli hukum Islam atau biasa disebut mufti.

RUU ini mengubah peraturan yang telah berlaku selama satu abad. Perdana Menteri Yunani yang beraliran kiri, Alexis Tsipras menyebut keputusan parlemen itu dianggap sebagai langkah bersejarah karena menyetarakan hukum bagi seluruh penduduk Yunani, tanpa membawa-bawa agama.

Pengadilan agama Islam hanya bisa memerintah dalam urusan hukum keluarga seperti perceraian, hak asuh anak dan warisan apabila semua pihak setuju dan didasarkan pada undang-undang baru yang didukung oleh partai-partai besar.

Sedangkan hukum standar di Yunani biasanya diberlakukan jika semua pihak tidak setuju dengan keputusan pengadilan agama.

 


Warisan Sejarah

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan saat menyambangi Trakia Barat, Yunani, pada Desember 2017. (K. Ozer/AFP)

Yunani adalah satu-satunya negara Uni Eropa yang memiliki pengadilan agama Islam, dengan jumlah penduduk Muslim hampir 120.000 orang yang tinggal di Trakia Barat, Yunani Timur.

Untuk menyelesaikan masalah hukum keluarga di kalangan umat Islam, mereka harus bermediasi dengan ulama yang ditunjuk negara atau mufti. Mufti sudah ada sejak Perjanjian Lausanne diberlakukan. Perjanjian ini disepakati pada tahun 1923 antara Turki dan Yunani setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman.

Dalam perjanjian tersebut terjadi pertukaran populasi sekitar 2 juta orang antara Turki dan Yunani, kecuali di beberapa pulau Aegea, komunitas Ortodoks Yunani di Istanbul dan sebagian besar komunitas Muslim berbahasa Turki di Trakia Barat.

Berdasarkan perjanjian itu, orang-orang Ortodoks Yunani dan umat Muslim diberi hak minoritas dalah hal bahasa, budaya dan agama. Tapi, Muslim di Yunani diatur di bawah hukum Islam, sementara Turki berada di bawah sistem hukum sekuler Republik Turki.

Muslim yang tinggal di sudut timur laut Yunani -- dekat perbatasan dengan Turki -- sebagian besar adalah etnis Turki, meskipun ada juga yang etnis Pomak (Muslim Slavia yang tinggal di wilayah Bulgaria, Yunani timur laut dan Turki barat laut).

Sebenarnya, Yunani enggan mengubah undang-undang yang mengurusi masalah keluarga Muslim, karena dikhawatirkan Turki meminta Perjanjian Lausanne diubah.


Yunani Ditantang di Pengadilan HAM Eropa

Seorang pendukung mengangkat tangan tanda kemenangan disamping bendera Yunani atas parlemen di Athena, Yunani (6/7/2015). Parlemen Eropa Heald sidang paripurna pada tanggal 7 Juli pada konsekuensi dari hasil referendum Yunani. (REUTERS/Yannis Behrakis)

Penggodokan RUU tersebut muncul saat Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights/ECHR) berencana menggelar sebuah kasus yang bisa saja mempermalukan pemerintah Yunani.

Seorang janda berusia 67 tahun, Hatijah Molla Salli, dari kota Komotini di Trakia Barat, mengajukan keluhan atas tindakan pemerintah Yunani terhadap kasus warisan almarhum suaminya.

Salli memenangkan banding dalam sistem peradilan sekuler Yunani, namun pengadilan tertinggi pada tahun 2013 memutuskan bahwa hanya seorang mufti yang memiliki kekuatan untuk menyelesaikan masalah warisan kaum Muslim.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya