Liputan6.com, Washington, DC - Penasihat Senior untuk Menteri Luar Negeri Amerika Serikat menyebut bahwa Tiongkok telah melakukan militerisasi yang provokatif di kawasan sengketa Laut China Selatan.
Sang penasihat, Brian Hook juga mengatakan bahwa AS akan terus mendorong prinsip kebebasan navigasi (freedom of navigation) di kawasan. Salah satu cara yang akan dilakukan Washington adalah dengan 'terus mengirim kapal patroli ke wilayah tersebut'.
"Militerisasi yang provokatif yang dilakukan oleh Tiongkok di Laut China Selatan adalah salah satu contoh bahwa mereka tengah berusaha untuk menggoyah hukum internasional," kata Brian Hook, Penasihat Senior untuk Menlu AS, seperti dikutip dari transkrip telephonic briefing US State Department Asia-Pacific Media Hub, yang diperoleh Liputan6.com pada Rabu (10/1/2018).
Baca Juga
Advertisement
"Kami akan terus mendorong operasi prinsip kebebasan navigasi, dan membiarkan mereka (China) tahu bahwa kami akan berlayar, terbang, dan beroperasi di manapun hukum internasional mengizinkan," tambahnya.
Seperti dikutip dari Newsweek, sejak kurun waktu terakhir, China dilaporkan telah dan terus membangun bangunan yang difungsikan untuk kepentingan militer di kawasan laut yang menjadi sengketa bagi para negara di sekitarnya.
Desember lalu, citra satelit yang diperoleh oleh Australian Maritime Transparency Initiative yang berbasis di Washington menunjukkan bahwa China telah membangun sebuah radar dengan frekuensi tinggi di kawasan reklamasi terumbu karang Fiery Cross dan depot amunisi di kawasan reklamasi terumbu karang Subi.
Merespons segala bentuk pembangunan militerisasi tersebut, Brian Hook mengatakan bahwa Amerika Serikat akan mengambil tindakan.
"Kami melihat bahwa China tak mampu bersikap selaras dengan keteraturan yang berbasis nilai dan peraturan. Jika China telah bertindak melewati batas keteraturan tersebut, Amerika Serikat akan bertindak demi mempertahankan hukum," kata Hook.
Tahun lalu, Tiongkok mengklaim bahwa mereka memiliki hak kedaulatan yang tak terbantahkan atas kawasan Laut China Selatan dan pulau-pulau yang ada di dalamnya.
Tiongkok melandasi klaim kedaulatan sepihak itu dengan menggunakan konsep demarkasi semu 'the nine-dash line' atau sembilan garis putus, mencakup seluruh kawasan gugus kepulauan Spratly, Paracel, Pratas, Macclesfield Bank, dan Scarborough Shoal -- secara akumulatif membentuk seluruh kawasan Laut China Selatan.
Namun, klaim tersebut ditentang oleh banyak negara, meliputi, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, Indonesia, termasuk Amerika Serikat -- meski berada jauh dan berbeda kawasan.
Kritik AS berfokus pada pembangunan fasilitas militer China di pulau serta daratan reklamasi di kawasan. Washington juga menyebut, infrastruktur itu akan membatasi juga membahayakan navigasi perairan internasional.
Beijing telah berulang kali memperingatkan AS agar menahan diri dan tidak terlibat dalam perselisihan tersebut. Negeri Tirai Bambu juga mengklaim bahwa kebebasan patroli navigasi -- seperti yang hendak direncanakan AS -- merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan China.
"Kami mendesak Amerika Serikat untuk menghormati fakta serta berbicara dan bertindak hati-hati agar tidak membahayakan perdamaian dan stabilitas Laut China Selatan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying kepada wartawan pada sebuah konferensi pers Januari lalu.
"Tindakan kami di Laut Cina Selatan masuk akal dan adil. Tidak peduli apa yang terjadi di negara lain, apa yang mereka katakan, atau apa yang ingin mereka lakukan, tekad China untuk melindungi kedaulatan dan hak maritimnya di Laut Cina Selatan tidak akan berubah," tegasnya.
Indonesia Dorong Negosiasi Damai soal Sengketa Laut China Selatan
Indonesia percaya bahwa isu Laut China Selatan harus dikelola dengan cara damai dan kooperasi dengan para pihak yang terlibat demi mitigasi tensi," kata Wakil Menteri Luar Negeri RI, AM Fachir saat menyampaikan pidato pembuka untuk The 27th Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea, di Jakarta, Kamis 16 November 2018.
Hadir dalam forum tersebut adalah delegasi, perwakilan, dan komunitas akademik dari negara yang terlibat dalam isu sengketa Laut China Selatan, seperti Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam serta negara anggota ASEAN lain.
Forum tahunan rutin itu dilaksanakan beberapa hari usai kesepakatan ASEAN - China untuk memulai dialog Code of Conduct on South China Sea (CoC-SCS) dalam KTT ASEAN 2017 di Manila 13 - 14 November 2017.
'Aturan main' itu dianggap ASEAN sebagai salah satu langkah untuk mengakhiri sengketa kawasan maritim yang telah terjadi selama puluhan tahun.
"Indonesia secara aktif mengelola isu Laut China Selatan melalui berbagai kesempatan, termasuk forum ini. Indonesia berharap, acara ini dapat menjadi ajang untuk berbagi saling pengertian antar sesama negara demi mengelola potensi konflik yang mungkin terjadi," tambah Fachir.
Negosiasi CoC, Sudah Sampai Mana?
Wamenlu RI AM Fachir mengatakan, Indonesia, melalui mekanisme ASEAN, telah menyusun rancangan awal naskah Code of Conduct on South China Sea (CoC-SCS) ke berbagai negara yang terlibat dalam isu sengketa Laut China Selatan (LCS).
"Kita sudah menampilkan zero draft terlebih dulu, yang berisi beberapa hal yang mungkin bisa disepakai para pihak. Untuk target kapan selesai, agak susah. Tapi, harapan kita lebih cepat lebih bagus," kata Fachir.
Sementara itu, melengkapi pernyataan AM Fachir, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kemlu RI Siswo Pramono, mengatakan, "Tahap (CoC-SCS) sekarang sudah sampai kerangka rancangan. Kalau dulu kan cuma ada garis besar. Sekarang, kita tinggal isi aja kerangka rancangan tersebut."
Siswo melanjutkan, pembahasan 'aturan main' tersebut masih memiliki banyak kendala karena, 'masing-masing negara (yang terlibat dalam sengketa LCS) punya kepentingan nasional yang berbeda-beda.'
"Tapi semua bisa dinegosiasikan dan dibicarakan secara politik," tambah Siswo.
Advertisement
ASEAN dan Dialog CoC-SCS Picu Situasi Kondusif
Ketua BPPK Kemlu RI itu juga mengakui, segala pembahasan tentang CoC-SCS dan sengketa LCS saat ini masih jauh lebih kondusif ketimbang beberapa tahun sebelumnya. Penyebab situasi kondusif itu, menurut Siswo, adalah karena peran ASEAN di kawasan.
"Kalau dulu, sempat ada pertempuran bahkan antara Vietnam dan China tentang laut itu. Sekarang kan sudah tidak. Berkat kehadiran ASEAN," kata Siswo.
Sebagai organisasi multilateral yang juga menjalin kemitraan dengan negara lintas kawasan, Siswo menilai ASEAN dan berbagai forum dialog-nya, memiliki wadah yang efektif untuk dialog atas isu tersebut.
"ASEAN sudah menghasilkan saling ketergantungan ekonomi di kawasan. China tergantung dengan tetangga disekitarnya, beberapa di antaranya adalah ASEAN. Indonesia juga. Ketergantungan itu yang akhirnya membuat berbagai pihak untuk menghindari saling gebuk-gebukan atas isu LCS," tambah Siswo.
ASEAN-China Sepakati Dialog CoC
Dalam sesi pleno leaders ASEAN - China Summit (sebagai bagian dari rangkaian acara KTT ASEAN 2017) pada 13 November, para pemimpin negara anggota mengumumkan permulaan negosiasi mengenai Kode Etik Laut China Selatan (SCS-CoC).
Jika berhasil dirumuskan dan disepakati, 'aturan main' itu diharapkan mampu meletakkan peraturan dan pedoman yang mengikat secara hukum yang bertujuan untuk mencegah konfrontasi bersenjata di antara negara-negara yang mengajukan klaim atas Laut Cina Selatan.
Negara yang terlibat langsung dalam isu itu meliputi China, serta empat negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam.
"ASEAN percaya CoC masih jadi salah satu solusi penting. Diciptakan bersama untuk kesepakatan 'tidak boleh begini dan begitu' di LCS. Buat kita itu sangat penting, juga buat ASEAN dan yang bersangkutan dengan kawasan tersebut," kata Siswo.