Harga Beras Medium dan Premium Naik di Pasar Induk Cipinang

Pasar Induk Beras Cipinang menjadi pemasok penting kebutuhan beras di Jakarta.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 11 Jan 2018, 17:30 WIB
Seorang kuli angkut memanggul beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Senin (25/9). Penetapan HET beras kualitas medium zona Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, NTB dan Sulawesi Rp 9.450/kg dan Rp 12.800 untuk beras premium (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Harga beras jenis medium dan premium di Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta terpantau tinggi. Pasar Induk Beras Cipinang menjadi pemasok penting kebutuhan beras di Jakarta.

Hajiyono pemilik Toko Famili menerangkan, beras medium ialah beras yang patahannya (menir) mencapai 25 persen. Sementara, beras premium menirnya 15 persen.

Dia bilang, saat ini membeli beras premium seharga Rp 12.500 hingga Rp 13.000 per kg. Bisanya, beras tersebut dibeli dengan harga kurang dari Rp 12.000 per kg.

"Biasanya kurang dari Rp 12.000 per kg," kata dia kepada Liputan6.com di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (11/1/2018).

Begitu juga dengan harga beras medium. Saat ini, harga beras medium di atas Rp 10.000 per kg atau tepatnya Rp 11.000 per kg. Biasanya, beras tersebut dibeli dengan harga Rp 8.500.

"Sekarang sudah nggak ada beras medium Rp 10.000 ribu per kg," sambungnya.

Menurutnya, kenaikan tersebut disebabkan minimnya pasokan dari petani. Lantaran, belum memasuki musim panen.

Dia mengaku, memasok beras dari Bandung, Pamanukan, dan Indramayu.

"Gabah di daerah Rp 7.000 per kg. Harusnya Rp 5.000. Petani jual Rp 7.000," ujar dia.

Pedagang lain Sarjiem mengaku tak tahu perbedaan antara beras medium dan premium. Meski begitu, dia menyebut beras Ramos naik dari biasanya Rp 11.000 per kg menjadi Rp 13.000 per kg.

Lalu, beras Pandan Wangi naik dari Rp 13.000 ribu per kg menjadi Rp 15.000 per kg. Kenaikan sudah terasa sebelum pergantian tahun.

"Naiknya tiap hari naik, nggak sekaligus banyak. Awalnya sehari Rp 100-200. Tiap hari naik," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Pemerintah Harus Kaji Opsi Impor Beras Medium

Tingginya harga beras medium membebani kalangan masyarakat, terutama mereka yang tergolong masyarakat miskin. Harga beras yang terus tinggi juga dikhawatirkan akan memengaruhi inflasi nasional yang pada akhirnya akan berdampak pada kegiatan perekonomian. Pemerintah seharusnya tidak menutup pintu opsi impor beras.

Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, kondisi di lapangan sangat berbeda dengan data yang selama ini diungkapkan Kementerian Pertanian.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, harga beras medium pada Juli 2017 adalah Rp 10.574 per kilogram (kg) dan meningkat menjadi Rp 10.794 per kg pada November di tahun yang sama. Di Januari 2018, angka ini merangkak naik menjadi Rp 11.041 per kg.

Fakta-fakta ini seharusnya sudah diantisipasi pemerintah. Pemerintah seharusnya tidak perlu menunggu sampai harga naik baru memikirkan cara untuk mengatasinya.

Beberapa hal yang sudah diterapkan pemerintah terbukti tidak efektif menurunkan harga beras medium. Misalnya saja, operasi pasar dan penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Penerapan HET justru merugikan para pedagang eceran karena biaya yang mereka keluarkan saat membeli beras tersebut dari para pedagang beras sudah melebih HET yang dipatok di angka Rp 9.450 per kg. Belum lagi biaya lain, seperti transportasi yang tidak diperhitungkan pemerintah.

“Harga beras yang konsisten tinggi tentu akan memberatkan konsumen, terutama masyarakat miskin yang pendapatannya sama atau kurang dari Rp 300.000 per bulan. Beras menjadi salah satu kontributor kemiskinan mereka," urai Hizkia dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (10/1/2018).

"Selain itu, penerapan HET adalah cara instan yang justru bukan menjadi solusi untuk menjaga stabilitas harga beras. Banyak tempat penggilingan padi tutup karena harga gabah sudah lebih tinggi daripada HET,” lanjut dia.

Kebijakan HET dan operasi pasar ini juga tidak fair karena menekan pedagang kecil, padahal yang dapat profit margin terbesar justru pemilik penggilingan dan pedagang grosir dan tengkulak.

Kalau hal ini dipaksakan, lanjut Hizkia, para pedagang bisa saja memilih untuk tidak jualan atau bisa saja mereka tetap jualan, tapi berasnya dioplos dengan beras yang berkualitas buruk.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya