Liputan6.com, Jakarta - Menko Polhukam Wiranto menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi tentang ketentuan ambang batas presidensial atau presidential threshold 20 persen. Dia berharap putusan tentang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 itu dapat memperkuat sistem presidential.
"Keputusan tersebut diharapkan akan memperkuat sistem presidential. Keputusan tersebut juga selaras dengan hakekat tujuan pemilu, di mana Presiden yang terpilih akan mendapat dukungan signifikan di DPR sehingga akan memperkuat kinerja pemerintah," ucap Wiranto saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Kamis (11/1/2017).
Advertisement
Dia menuturkan, putusan terkait presidential threshold tersebut secara tidak langsung menjadi seleksi bagi munculnya pemimpin yang berkualitas. Putusan ini juga bisa mewujudkan penyederhanaan jumlah parpol.
"Dengan keputusan tersebut, maka akan memperkecil jumlah pengelompokan partai politik dalam rangka mendukung calon Presiden," tegas Wiranto.
Menurut dia, putusan ini juga dipercaya akan meminimalisasi potensi konflik. Sehingga, lanjut dia, stabilitas politik terjaga.
"(Putusan MK terkait presidential threshold) akibatnya akan memperkecil potensi konflik yang biasanya terjadi pada saat-saat Pemilu, sehingga stabilitas politik nasional akan tetap terjaga," pungkas Wiranto.
Putusan MK
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak ambang batas presiden atau presidential threshold 0 persen. Mayoritas hakim menyetujui adanya ambang batas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Semangatnya adalah ingin memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Indonesia.
Majelis Hakim Anwar Usman mengingatkan salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah penguatan sistem pemerintahan presidensial.
Substansi ini, kata Anwar, merupakan salah satu dari lima kesepakatan politik penting, yang diterima secara aklamasi oleh seluruh fraksi yang ada di MPR tahun 1999, sebelum melakukan perubahan terhadap UUD 1945.
Selain itu, masih kata dia, memperkuat sistem presidensial juga memiliki makna lain dalam konteks sosio-politik. Makna lain itu, lanjutnya, mempertimbangkan kebhinekaan atau kemajukan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek, jabatan presiden dan wakil presiden atau lembaga kepresidenan.
"Lembaga kepresidenan harus merepresentasikan realitas kebhinekaan atau pluralitas masyarakat Indonesia itu. Dari dasar pemikiran itulah semangat constitusional engineering yang tertuang dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang berlaku saat ini harus dipahami untuk mencapai tujuan dimaksud," ujar Hakim Usman dalam persidangan MK, Jakarta, Kamis (1/11/2018).
Senada, Majelis Hakim Wahiduddin Adam mengatakan, jika mengacu pada Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, mendorong agar partai-partai memiliki platform, visi, atau ideologi yang sama atau serupa berkoalisi dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden.
"Sehingga ke depan diharapkan akan lahir koalisi yang permanen, sehingga dalam jangka panjang diharapkan akan terjadi penyederhanaan partai secara alamiah," ucap dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement