Liputan6.com, Tel Aviv - Pemerintah Israel membolehkan pria gay dan biseksual di Israel untuk mendonorkan darahnya melalui Magen David Adom (MDA).
Prosedur pendonoran pun sama, seperti donor darah pada umumnya. Aturan baru ini diumumkan setelah layanan darurat tersebut membuat sistem "pengujian ganda" yang menyaring darah dua kali.
Advertisement
Pada tanggal 6 Januari 2018, Kementerian Kesehatan Israel menyatakan bahwa pria gay hanya dapat menyumbangkan darahnya setelah 12 bulan tak lagi berhubungan seks.
Namun koalisi kelompok hak gay, Israel AIDS Task Force dan Agudah LGBT Taskforce, termasuk MDA dan MK Merav Ben-Ari, menentang prosedur tersebut. Mereka menganggap, aturan itu tidak relevan dan tidak realistis.
Direktur Layanan Darah MDA, Dr. Eilat Shinar, mengembangkan sebuah prosedur khusus yang akan menguji darah sebanyak satu kali sebelum donor, dan dua kali sebelum jarum donor disuntikkan ke tubuh pendonor.
Untuk sementara, darah kemudian dibekukan selama empat bulan dalam freezer khusus.
Shinar menambahkan, Kementerian Kesehatan telah menerima prosedur uji ganda pada percobaan yang dilakukan selama dua tahun. Itu artinya, kelompok gay dan biseksual tidak perlu lagi menunggu lama untuk berdonor.
Pria gay dan biseksual di Israel awalnya dilarang menyumbangkan darah, karena dikhawatirkan terkontaminasi HIV/AIDS.
"Segera setelah aturan itu disahkan, semua anggota LGBT bisa mendaftarkan diri untuk menyelamatkan nyawa banyak orang tanpa mempedulikan orientasi seksual," ungkap direktur MDA, Eli Bin, dilansir Times of Israel, Kamis (11/1/2018).
"Donor darah adalah hak dan kewajiban umum bagi semua warga negara Israel," imbuhnya.
Dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan, sekitar 300.000 orang telah melakukan donor darah melalui mobil Magen David Adom pada 2017.
Kesetaraan bagi Komunitas Gay
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara mulai mengubah prosedur mereka terhadap donor darah dari kalangan gay.
Di Amerika Serikat, pria gay dilarang menyumbangkan darah dari tahun 1985 sampai 2015. Namun, larangan itu runtuh setelah menuai banyak protes, salah satunya datang dari organisasi kemanusiaan Food and Drug Administration.
Mereka setuju untuk mengizinkan kelompok LGBT dan gay mendonorkan darah mereka, setelah melakukan selibat (puasa melakukan hubungan seksual, biasanya karena alasan keyakinan) selama 12 bulan.
Organisasi tersebut juga menginginkan pemerintah untuk menindaklanjuti kasus penembakan di klub malam Pulse di Orlando, Florida pada bulan Juni 2016, ketika banyak pria gay enggan menyumbangkan darahnya untuk menolong teman-teman mereka yang terluka.
Inggris juga memiliki kebijakan serupa. Namun, pada musim panas tahun ini, aturan tersebut dilonggarkan menjadi tiga bulan masa selibat.
Aktivis mengatakan, pedoman menyumbang darah setelah melewati masa selibat berasal dari budaya kuno. Donor darah harusnya disesuaikan berdasarkan kesehatan seseorang, bukan orientasi seksual.
Contohnya, mereka yang bertato dan bertindik, kerap "tidur" dengan pelacur, atau kembali dari daerah di mana wabah penyakit ganas menular, seperti Ebola dan Zika, seharusnya tidak diperbolehkan donor darah.
Meski demikian, Ketua Aguda-LGBTQ Taskforce Chen Ariely, menyebut keputusan itu sebagai langkah penting dan bersejarah menuju kesetaraan bagi komunitas gay.
"Penolakan untuk menerima sumbangan darah dari laki-laki komunitas LGBT adalah penghinaan, tapi sepertinya penghinaan ini telah berakhir," kata Ariely.
Advertisement