Pendapat Berbeda 2 Hakim MK Soal Ambang Batas Pilpres 0 Persen

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 0 persen.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 12 Jan 2018, 05:05 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 0 persen. Dari sembilan Hakim, dua di antaranya tak setuju dengan keputusan itu, yakni Suhartoyo dan Saldi Isra.

Menurut Hakim Suhartoyo, pertimbangan MK jangan hanya berdasarkan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Tetapi juga harus memperhatikan Pasal 22E ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 27 ayat 1, Pasal 28 ayat 1 dan ayat 3. Semuanya menghendaki adanya jaminan hak yang sama kepada setiap partai politik peserta pemilu mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Pada titik itu, MK harusnya melakukan peran dan fungsi konstitusionalnya mengoreksi atau melakukan review terhadap substansi undang-undang, sekalipun ketika perubahan UUD 1945 (1999-2002) muncul semangat untuk menyederhanakan partai politik demi menopang sistem pemerintahan presidensial," ungkap Suhartyono dalam persidangan MK, Jakarta, Kamis (11/1/2018).

Selain itu, lanjut dia, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi, jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan tersebut.

"Padahal, salah satu gagasan sentral dibalik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan sistem pemerintahan presidensial Indonesia," tegas Suhartoyo.


Pendapat Saldi Isra

Saldi Isra (kiri) berbincang dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat saat penyambutan di Jakarta, Selasa (11/4). Saldi Isra menjadi Hakim MK menggantikan Patrialis Akbar yang tersandung kasus dugaan penyuapan. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sementara itu, menurut Hakim Saldi Isra, hadirnya ambang batas tersebut, yang mengacu pada hasil pemilu anggota DPR sebelumnya, jelas menggambarkan adanya himpitan kepentingan atau conflict of interest dengan norma atau UU itu sendiri.

"Bagaimana mungkin menilai kehadiran norma Pasal 222 UU Pemilu, jika ia sengaja dirancang untuk menguntungkan kekuatan-kekuatan politik yang menyusun norma itu sendiri dan disi lain merugikan secara nyata kekuatan politik yang tidak ikut dalam merumuskan norma Pasal 222 UU tersebut," ungkap Saldi.

Dia juga mengungkapkan, dengan 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional di Pileg, bisa menjawab dan membangun stabilitas pemerintahan.

"Pada titik inilah sesungguhnya muncul masalah hukum dan sekaligus masalah politik yang sangat mendasar. Dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR 2014 sebagai ambang batas mengajukan calon presiden dan wakil presiden, bagaimana memastikan bahwa partai politik peserta pemilu anggota legislatif 2019 yang berasal dari partai politik hasil pemilu 2014 tetap mampu memiliki kursi atau suara sah secara nasional pada pemilu 2014? bagaimana jika kursi atau suara sah secara nasional yang diraih dalam pemilu 2019 lebih rendah dibanding pemilu 2014?" ungkap Saldi.

Dia pun menuturkan, arugementasi tersebut sangat sulit dipertahankan. Karena dinamika politik dari satu periode pemilu ke pemilu periode berikutnya amat mungkin berubah secara drastis.

"Bagaimana mungkin argumentasi untuk memnagun stabilitas tersebut dapat dibenarkan jika peluang partai politik peraih kursi atau suara sah tida bisa dijamin untuk dapat bertahan di DPR?" tandas Saldi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya